Senja memerah di lingkaran orbital semesta yang tabu. Langkah kuayun jari menari di pinggiran semesta. Angin menuntun awan pergi ke barat, dan membisikan pada tiada bahwa aku yang sendiri menghias langit dengan canda lama. Detik-detik pendulum dunia mengurungku bersama rindu untuk merindu.
Langit perlahan mengencingi jalan hasrat bertemu tak habis-habisnya. Gerimis turus sejak siang tadi dan tak kunjung reda jua. Sampailah ku ke tempat yang kau katakana, dengan sedikit membawa buku, menghampiri kau bersama semesta jingga bergelembung kehidupan.
Kau mengetahui kedatanganku kala itu. Menorehkan wajah kebelakang, dan kulihat rentetan pandang di balik mata indahmu. Ku tak terlalu dekat untuk menghampirimu. Hanya duduk di serambi depan sambil menunggu dadu dalam impianku.
“Dimana?” Tanyamu di sms
“Sinilah, ku malu bila ke sana.” Jawabku.
Kau menghampiriku perlahan, kakimu yang mungil, berdansa di ujung dermaga pandang mata. Kau ada di depanku kala itu. Begitu saja. Berkrudung merah. Awal duduk mematung. Matamu menerawang baju gembelku, dengan sedikit berenda. Ku hanya bisa berikan tawa lama di atas batu senja ini.
Gerimis waktu senja itu, membuat kita sedikit membisu. Tidak mampu ku ucapkan sesuatu. Semua percikan kata entah disapu oleh apa, dan makna tak melambai-lambai di benak piluku. Melirik sedetik matamu, ku teringat masa lampau. “Setahun menyusuri harapan untuk berbincang denganmu, ku cukup menemukan betapa masa lalu, termasuk yang baru saja melintas di pinggiran mata kita, lewat, melompat, dan beroleh tak penting. Artikel, essai, makalah, dan hal yang lain beramai-ramai mengabdikan pada harapanku dengan seksama. Sepertinya, ada kerja jagad bayi untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada. Kala gelembung awan dikepung ingatan, tawa terkubur kepalsuan dan lupa”.
Kau tetap mematung menerawang di depanku. Di pelataran monumen makna yang sempit ini, jarak kita, mau tak mau, dekat belaka. Gerimis mengepung kita. Mulai ku awali cerita ini, tapi kau masih tetap mematung. Ku yakin, kau bukanlah Descartesian yang mengetahuimu lewat sebuah ilusi emosional hati, dan melukis semua indahnya gerimis ini dengan cerita hidupku.
“Apa kabar Mar?” Ku awali
“Baik”
“Gimana pemahamannya, sudah ngerti?”
“Hampir Ngerti kak.”
“Tentang apa?”
“Mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Sains.”
“Oh ya.”
Tak lama, waktu ku nikmati bersama gerimis ini. Pelan-pelan ku jelaskan prihal sains. Lantunan kata mulai ku wadahi dalam malu ini. Ku tak menatap mata indah matamu, karena serpihan malu menjelma dalam Asa.
Hidup terasa mudah belaka sampai kemudian agama dijatuhkan oleh Sains dan keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kebenaran memaksa untuk berkompetisi. Agama tak bisa menyelesaikan prahara dunia tanpa kata, dan sains tak bisa menyetubuhi rasa cinta, rindu, resah, dan galau.
“Di balik hasratku ini, datang menemuimu di sini. Inilah yang dinamakan ontology.” Kataku padanya. Namun, apa yang ku katakana ini hanya masuk akal saja, tak lebih. Ia tersenyum mendengarku, dan menyayukan langit hatiku, seolah malu tuk bercumbu dengan biru. Kembali ku berkata kepadanya, “suatu saat nanti, aku akan mati. Dimakan ruang dan waktu. Raga ini akan melebur di dasar bumi yang terhampar kosong.”
Kau melontarkan pertanyaan padaku, “mengapa kita harus dimakan ruang dan waktu?” ku jawab dengan perlahan, dan disampaikan jawabanku bersama tatapan mataku ini. Bahwa, “Kita adalah bagian dari ruang dan waktu. Kadang alam tersenyum, menari di pinggiran cahaya mimpi. Raga ini terikat sistem semesta dan daun kering yang disampukan oleh penyapu.”
Dengan seksama ku melihat kembali indah matamu dibalik gerimis. Lantas kau melanjutkan kembali pertanyaanmu, “Apa kegunaan sains?” jawabku dengan tak melihat putih wajahnya, ku menjawab “Awal dari sebuah cerita lama, bahwa sains memanusakan manusia, tapi sekarang member kelabu terhadap kematian umat manusia.”
Suara-suara bising beragam bahasa dunia yang menyelinap dari balik pintu terbuka mulai perlahan menyenyap. Senja makin sepuh. Kubayangkan, indah perbincangan kita suatu hari nanti. Usai perbincangan kala kabar kau harus berbaur demi sebuah urusan.
Ku tunggu kau bersama gerimis ini. Bersama sebuah buku sains, dan sebatang rokok Marlboro. Waktu menari bersama harapanku di sini. Tak lebih, hanya ingin berbincang kembali dan tak mengingat takdir bisu ini.
Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. gerimismu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah contoh sukses Eropa Timur dan Tengah. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung musim semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.
Kau kembali datang, dan mengajakku pulang. Kita berdua berjalam bersama, menuju gerbang kampus. Kita sedikit berbincang masalah hidup yang hidup. Gerimis membahasi langkah kita, namun kita hangatkan langkah dengan sebuah gurauan senja.
Tibalah kita di akhir perbincangan, dan kau bicara padaku,
“Takut ketahuan ya sama someone for?”
“Oh engga, aku jomblo, lawan sumanto, tahan libido, dan membaca sambil merokok. Karena itulah Mars LPIK.” Kita berdua sambil tertawa.”
Di gerbang kampus kau berkata kepadaku,
“Bila kau sadar akan kesendirianmu, kau akan bisa merasakan bahwa kau membutuhkan seseorang.”
Aku tertawa di atas gerimis.
“Yu akh aku pulang ke sini.” kataku
“Iya kak.”
Aku ke kanan dan Mariam Ke kiri.
“Oh iya Mar, jangan lupa zmzin buku-buku yang kau butuhkan.” Sambil berteriak.
“Iya, nanti Mar zmz, sama masalah Ushul fiqih.”
“Iya.”
“Asalamualaikum kak.”
“Waalaikum Salam Mar.”
Akupun pergi bersama gerimis ke sekre LPIK, dan setibanya di sana, ku tulis kisah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H