Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan salah satu kebijakan yang patut mendapat apresiasi. Di tengah rendahnya minat baca siswa sebagaimana data yang diungkap sejumlah lembaga survei internasional, GLS muncul sebagai gagasan dan kebijakan sangat cemerlang. Walau masih terdapat  kekurangan di sana sini, akan tetapi geliat gerakan literasi semakin terasa. Ia semakin tumbuh dan membesar. Karenanya perlu komitmen dan dorongan segenap pihak untuk menyukseskannya.
Literasi dipahami sebagai kemampuan mengakses, mencerna, dan memanfaatkan informasi secara cerdas. Penumbuhan budaya baca menjadi sarana untuk mewujudkan warga sekolah yang literat, dekat dengan buku, dan terbiasa menggunakan bahan bacaan dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan.
Gerakan literasi yang dicanangkan oleh Kemendikbud tahun 2015 dan dituangkan dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti (PBP) memiliki tujuan melakukan pembiasaan diri dan tumbuhnya perilaku positif anak didik di sekolah setiap tingkatan.Â
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan terkait GLS, salah satunya dengan pembiasaan membaca 15 menit sebelum proses pembelajaran dimulai. Aktifitas ini diharapkan menjadi cikal bakal  tumbuhnya budi pekerti dan terbentuknya karakter positif anak didik.Â
Kegiatan membaca 15 menit tentu saja waktu yang sangat singkat, namun diharapkan kegiatan tersebut menjadi pembiasaan dan mampu menjadi daya tarik agar aktifitas membaca juga berkembang hingga di luar lingkungan sekolah.
Literasi menjadi penting bagi generasi muda dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045 sebagaimana yang dicita-citakan. Generasi emas adalah generasi yang diharapkan menjadi perintis perubahan dalam membentuk kehidupan dan peradaban bangsa yang lebih baik.
Saya bersama para guru di sekolah yang saya pimpin meletakkan pondasi GLS sebagai program penting dan prioritas. Dua tahun sejak sekolah ini berdiri yakni pada 2017 hingga kini aktifitas literasi berjalan efektif dan memberi warna tersendiri bagi kemajuan sekolah dan anak didik.
Menyadari pentingnya membaca sebagai pilihan menuju kemajuan, sekolah menetapkan kebijakan dengan memberikan target membaca bagi setiap siswa. Target membaca terinspirasi dari sejumlah negara yang sukses mengelola literasi dan minat baca.
 Sebagian waktu dari aktifitas harian anak didik harus disiapkan untuk membaca buku non pelajaran. Tema bacaan yang dipilih diantaranya tentang pengetahuan umum, motivasi, nilai karakter, biografi tokoh sukses, sejarah perjuangan dan sejenisnya yang relevan.  Agar mudah diingat dan dipahami kami memberi nama program ini dengan OMOB (One Month One Book).
Pelaksanaannya, masing-masing siswa ditugaskan membaca minimal 1 buku setiap bulan. Guru yang sudah diamanahkan di ruang kelas memberikan tugas bimbingan literasi bagi anak didik dan mengevaluasinya secara rutin serta berkala.Â
Judul buku yang dibaca dan batas bacaan dicatat dalam lembaran monitoring. Program membaca dilaksanakan pada jadwal 15 menit sebelum aktifitas pembelajaran dimulai, dan dapat dilanjutkan kembali pada waktu luang setelah kembali dari sekolah.
Sejauh ini hasil OMOB sungguh menakjubkan, rata-rata anak mampu menyelesaikan bacaan dalam satu bulan 4 -- 5 buku. Bahkan sebagian lain yang lebih tekun mampu menuntaskan 7-10 buku. Â Buku yang dibaca tentu bersumber dari bacaan bermutu, tim literasi yang ditunjuk dari unsur guru sebelumnya telah menyeleksi buku yang layak dan tidak layak dibaca.
Berhubung perpustakaan sekolah belum memiliki koleksi yang cukup, maka orang tua disarankan membekali anak dengan buku bacaan sesuai dengan batasan usianya. Jika satu teman selesai membaca maka ia dapat meminjamkan pada teman yang lain yang punya kendala sumber bacaan. Sekolah juga mengarahkan, buku bacaan yang dibeli dan dibaca anak didik dapat menjadi koleksi pribadi sekaligus menjadi cikal bakal berdirinya perpustakaan pribadi kelak di rumah masing-masing.
Tindak lanjut dari program OMOB adalah bedah buku. Masing-masing siswa mendapat giliran membedah 1 buku yang ia baca pada jadwal yang ditentukan setiap pekan. Hal ini menarik, anak didik mampu menyampaikan ulasan maupun gagasan sebagaimana tertulis dalam buku. Setelah presentasi selesai, teman yang lain diperkenankan memberi tanggapan dan pertanyaan. Pembedah kemudian memberikan penjelasan sesuai yang ia pahami dari isi buku. Selain bagi pembedah, anak yang lain tentu berkesempatan menyerap ilmu pengetahuan sebagaimana yang disajikan.
Bagian lain yang tidak kalah menarik adalah, menjadikan buku yang dibaca sebagai sumber inspirasi dan ide untuk disajikan dalam karya tulis. Diantara karya tulis yang dimaksud adalah puisi, artikel pendek, cerita pendek (cerpen). Program ini diberi nama 'Pintar Menulis'. Tulisan-tulisan tangan siswa dikumpulkan pada guru pembimbing literasi, guru membaca serta memberikan koreksi dan pembinaan seperlunya.Â
Tak lupa guru memberikan paraf dan pujian. Tahapan berikutnya diserahkan kembali pada siswa untuk disempurnakan kemudian diketik. Hasil ketikan sebagiannya dikirim ke media cetak, juga dimuat pada website sekolah. Mumpung sebuah  harian terbesar di Sumatera Barat menyediakan rubrik kreasi siswa di akhir pekan. Di luar dugaan semenjak 19 September 2017 hingga 18 Maret 2019 tulisan siswa telah dimuat sebanyak 123 buah, diantaranya 64 artikel pendek, 48 puisi dan 11 cerpen.
Sebagai bentuk apresiasi karya tulis yang terbit di media, petugas yang ditunjuk dari pembina literasi mengumumkan melalui pengeras suara untuk seluruh siswa memberitahukan siapa saja diantara mereka yang karyanya terbit hari itu.Â
Pengumuman ini menjadi yang ditunggu oleh banyak siswa, bahkan ada yang langsung mendatangi pembina literasi dan bertanya karya siapa saja yang terbit. Sekolah juga mengapresiasi dengan memajang karya mereka di mading sekolah. Melalui mading semua anak dapat membaca karya teman sekaligus menjadi inspirasi dan motivasi untuk turut giat membaca dan menulis.
Hal yang mengharukan adalah saat karya anak terbit di media cetak guru mendokumentasikan dengan cara difoto karya siswa dan di kirim ke orang tua melalui aplikasi Whatsapp (WA) oleh guru pembina literasi. Orang tua sumringah senang, sebagian mereka mengoleksi bahkan ikut memposting ke akun media sosial seperti Facebook/Instagram miliknya.
Sekolah juga punya tradisi mengumumkan dan meminta semua nama yang karyanya pernah dimuat dimedia cetak untuk berdiri di depan orang tua saat acara penerimaan rapor dipenghujung semester. Kepada mereka diberikan bingkisan 'honor tulisan' beserta dokumen kliping yang sebelumnya telah diambil dari media cetak. Rata-rata 20 -- 30 orang anak yang menulis tiap semester berdiri berjejer dihadapan orang tua menerima bingkisan kecil yang dibagikan salah seorang guru atau pimpinan sekolah. Â Terhadap anak yang membaca lebih banyak buku setiap bulan dan semester juga diberikan reward khusus oleh sekolah.
Budaya literasi dapat tumbuh jika ada keteladanan dan model yang secara langsung bisa diamati siswa. Keteladanan tersebut berasal orang terdekatmereka, yakni para gurunya. Ia memiliki peran yang sangat fundamental sekaligus menjadi fasilitator yang berkualitas. Guru merupakan figur teladan dalam gerakan literasi sekolah (Pangesti Wiedarti, 2016:10). Â
Gerakan literasi dibutuhkan komitmen bersama para guru agar bissa berjalan berkelanjutan. Semangat literasi harus dirawat. Diantara cara yang kami lakukan misalnya menulis di media cetak. Hal yang megembirakan 8 dari 21 guru sudah menunjukkan konsistensi menulis di media cetak. Karya tulis diantaranya artikel/opini, cerpen.
Saya sebagai pimpinan sekolah diberi kesempatan oleh pihak media dengan menulis pada rubrik kolom setiap pekan di koran minggu harian Singgalang, sebuah media koran terbesar Sumbar. Terhitung sudah 84 tulisan dimuat di harian tersebut pada pekan lalu. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan inspirasi dan semangat kepada siswa untuk mencintai ilmu pengetahuan melalui membaca dan menulis. Tentu, seseorang yang ingin menuangkan idenya untuk menulis dimulai dari aktifitas membaca. Jika tidak membaca apa yang mau ditulis.
Gerakan Literasi Sekolah, sebagai bagian dari Gerakan Literasi Nasional, menjadi pilar yang sangat penting kemajuan bangsa. Andai setiap sekolah atau separuh jumlah sekolah dibergai tingkat di tanah air bisa konsisten menjaga program literasi yang sudah ada, seperti memberi target membaca disertai semangat menulis kepada siswa tentu akan mengahasilkan dampak yang luar biasa bagi diri peserta didik bahkan bangsa secara keseluruhan.
Bagi diri siswa berguna memperkaya ilmu, memperluas wawasan, terbentuknya pemahaman dan seterusnya. Kekayaan ilmu yang mereka miliki saat ini, suatu saat akan berguna dalam membangun dan menyukseskan bangsa ke depan. Dengan demikian cita-cita menuju bangsa gemilang melalui generasi yang cerdas bukan suatu yang tidak mungkin.
* Â Penulis: Kepala SMP IT Al Kahfi Pasaman Barat, Sumatera Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H