Mohon tunggu...
Abdul Rahim
Abdul Rahim Mohon Tunggu... Administrasi - Bertani, dan menulis buah-buah pikirnya, dalam mengisi masa purna bhaktinya - untuk kemanfaatan yang lebih luas

Sehari-hari menikmati hawa segar udara Palangisang, sebuah desa di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Memiliki hobi membudidayakan lebah madu, untuk itu sangat tertarik menerapkan filosofi kebaikan lebah madu dalam kehidupan sehari-hari – termasuk kehidupan berdemokrasi. Tertantang untuk berbagi pengalaman tentang sistem dan perubahan pola perilaku. Selalu berupaya menerapkan pola pikir global namun bertindak lokal.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Drama Empat Belas Februari 2024

10 Mei 2024   00:44 Diperbarui: 13 Mei 2024   22:23 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lidah kedelapan orang Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), minus satu orang dari sembilan, yaitu Anwar Usman karena tidak dibenarkan ikut menyidangkan sengketa Pilpres 2024, tetap 'mengeluarkan api' (Bahasa Bugis: Api Tettong) oleh karena tiga unsur lainnya, yaitu: angin, air dan tanah harus ruku, sujud dan duduk menghormati keputusan MK pada hari Senin, 22 April 2024, dan seharusnya diikuti oleh dua ratus lima puluh juta manusia Indonesia , dan harus diam, patuh, manut, tidak boleh protes, banding, tidak ada jalan melawan.

Di atas MK hanya ada langit. Apakah itu tidak mengerikan namanya? (MK sebagai instansi pemutus pertama dan terakhir itu sesungguhnya didasarkan pada pertimbangan pragmatis, bukan akademis).

Hakim MK adalah orang-orang yang paling mengerti kandungan moral dan kehendak UUD (Undang-Undang Dasar) dan oleh karena inilah mereka diberikan kepercayaan mutlak untuk melakukan pengujian terhadap UUD. Kengerian terhadap kepercayaan tersebut semakin besar, mengingat UUD itu bukan undang-undang biasa.

UUD memang bukan Undang-Undang biasa. Apabila ia hanya berkualitas Undang-Undang biasa, tentulah tidak mungkin menjadi dasar dan landasan ribuan perundang-undangan yang ada di negeri ini. Untuk mampu menjadi dasar dari sekalian perundang-undangan tersebut, UUD harus menggunakan bahasa yang lain daripada bahasa undang-undang biasa. Ia harus menggunakan bahasa azas (principles) yang tidak lain adalah bahasa moral (dlamir) yang berfungsi memotivasi manusia berbuat kebaikan dan menjauh dari hal-hal yang buruk.

Jika dilihat dari sisi kualifikasi konteks, dan batasannya, dlamir (moral) dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pertama dlamir ijtima'i, yakni moralitas yang terbentuk karena lingkungan, dan bersifat sosial. Di sini moralitas lahir sebagai kesepakatan secara sosial.

Kedua adalah dlamir qanuni, yaitu moralitas yang terbentuk karena norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan bersifat legal.

Ketiga adalah dlamir dini, yakni moralitas berdasarkan petunjuk agama.

Maka Ronald Dworkin-pun menyatakan bahwa membaca UUD itu tidak sama dengan membaca peraturan biasa. Kita perlu membaca dengan sungguh-sungguh (taking law seriously) dan membaca UUD sebagai pesan moral (the moral reading of the constitution).

UUD tidak hanya menjadi landasan tatanan hukum, melainkan juga kehidupan sosial, politik, ekonomi, kultural, dan lain-lain. Kalau kita menyimak putusan MK pada tanggal 22 April 2024 yang menolak permohonan sengketa pilpres 01 dan 03 secara keseluruhan dari 8 anggota MK, ada tiga anggota Majelis Hukum yang negarawan yang menerima semua proses sebagai masukan yang sangat mempertimbangkan kebenaran dan sungguh memaknai UUD Republik Indonesia sebagai PESAN MORAL baik secara qanun maupun secara Dienul Islam sebagaimana firman Tuhan dalam Al quran di surah Ali Imran ayat 104 yang menyatakan: "Hendaklah ada diantaramu ikatan persatuan yang menegakkan dakwah kebajikan; menyuruh berbuat makruf, melarang berbuat munkar. Ikutlah golongan yang beruntung."

Makruf yaitu apa yang dipandang baik oleh syariat agama dan akal sehat, seangkan mungkar adalah sebaliknya. Kemudian sesuai dengan bahasa azas (principles) adab, disiplin akal, disiplin hati, dan disiplin amal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun