Tanggal 4 Maret lalu, Komite Sekolah SDN 18 Palangisang, Kabupaten Bulukumba mengundang seorang pendongeng/pencerita yang berdomisili di Makassar, yaitu Pak Bugi (Bugi Kabul Sumirat) untuk bercerita atau mendongeng di hadapan para siswa. Proses bercerita dibagi kedalam dua sesi yang masing-masing sesi berdurasi sekitar 45 menit. Sesi pertama untuk kelas 1 sampai kelas 3 sedangkan sesi kedua bagi kelas 4 dan kelas 5.
Topik bercerita yang dipilih oleh pak Bugi adalah tentang Peduli Lingkungan Sekitar. Dalam bercerita, pak Bugi ‘didampingi’ oleh seekor Orang Utan (boneka tangan) yang berukuran cukup besar yang menggunakan lengan kirinya untuk menggerakkan mulut si Otan. Dengan cara demikian, si Otan menjadi seekor Orang Utan yang dapat berbicara, dapat bercerita secara interaktif, dapat menyanyi dan menari/bergoyang bersama anak-anak audiensnya itu. Sehingga anak-anak menjadi sangat aktif berpartisipasi, sangat tertarik dan terkesan dengan ‘ulah’ si Otan ini. Hingga di akhir acara, si Otan lebih dikenal dibandingkan dengan pembawanya, yaitu pak Bugi.
Saya sendiri, yang adalah seorang pensiunan PNS, baru kali pertama itu melihat seorang pendongeng/pencerita beraksi. Tidak seperti dugaan awal saya yang mungkin bercerita atau mendongeng adalah ‘perbuatan’ yang monoton dan membosankan, nyatanya tidak. Sangat ‘hidup’ dan para siswa – termasuk saya dan para guru yang menonton, sebetulnya menginginkan agar mendongeng pak Bugi masih bisa diteruskan, karena asyik, menarik, dan banyak hal yang menjadi ‘pesan si Otan’ yang baik dan bermanfaat bagi para siswa tersebut.
Sebelum mendongeng, saya sempat berdiskusi dengan pak Bugi, yang dalam kesehariannya adalah seorang peneliti di Balai Litbang LHK Makassar itu, tentang topik yang akan disampaikan. Rupanya topiknya sudah selaras dengan program yang sedang digadang-gadang oleh SDN 18 Palangisang ini, yaitu 18 karakter yang diharapkan dapat selaras dengan gagasan ‘Revolusi Mental’-nya pak Joko Widodo, Presiden RI.
Wah, kok sepertinya jauh sekali, hingga ke Revolusi Mental? Sebetulnya tidak juga karena banyak cara mendukung keniscayaan tentang pentingnya Revolusi Mental itu, salah satunya adalah melalui dongeng atau cerita yang diharapkan dapat membentuk pola pikir yang lebih baik bagi anak-anak/peserta kegiatan mendongeng tersebut.
Sayapun meyakini bahwa Revolusi Mental perlu didukung dengan Revolusi Intelektual (yang logis) plus terintegrasinya dua jenis revolusi lain, yaitu Revolusi Fisikal dan Spritual, sehingga terbentuklah tiga dimensi ‘ilahiah’ yang sebetulnya sejak semula sudah tidak terpisahkan – yaitu rasio, mental-spiritual dan fisikal.
Ketiga gabungan dimensi Ilahiah itu akan bekerja secara terintegrasi. Bekerja dimensi inilah yang menghasilkan daya cipta yang disebut dengan kreativitas yang akan melahirkan budaya-budaya, kebudayaan dan produk-produk turunannya. Dimana diharapkan akan terjadi perubahan yang kontinyu, progresif dan positif yang kelak dapat berperanan sebagai dasar dari proses berkebudayaan itu sendiri.
Pemahaman di atas, oleh Komite Sekolah SDN 18 Palangisang, mencoba diejawantahkan kedalam Rencana Pengelolaan Pendidikan (RPP) sekolah dimana sebagai visinya adalah:
“Terwujudnya peserta didik yang beradab, dengan berpegang pada nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Pancasila, melalui system pendidikan Nasional menuju tahun 2025”.
Sementara keseluruhan dari 18 program yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut: Religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab.
Dan program-program tersebut diharapkan dapat menunjang wujud ideal unsur-unsur kebudayaan yang mencakup: Bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi dan kesenian.
Terkait dengan kegiatan mendongeng di atas, saya melihat bahwa proses kegiatan mendongeng dan bercerita seperti yang dicontohkan dari kegiatan si Otan mendongeng tersebut adalah bahwa si Otan berkontribusi pada proses menanamkan nilai-nilai ilmu pengetahuan (dari pesan-pesan yang disampaikan), teknologi (dari penggunaan boneka tangan, musik serta laptop dan sound system saat kegiatan berlangsung) dan seni (dari bagaimana proses interaksi dan interaktif saat ‘pertunjukan’ yaitu antara pencerita, si Otan, audiens – siswa-siswa yang terpadu secara baik, menyenangkan dan membahagiakan) yang bercampur secara apik dalam proses mendongeng tersebut.
Dan proses diatas adalah suatu proses budaya, proses berbudaya. Bila kemudian berimplikasi terhadap terjadinya perubahan paradigma ataupun pola dan cara berpikir dari audiens (yang mengarah pada terjadinya, nantinya, Revolusi Mental) yang diakibatkan dari keikutsertaan mereka dalam kegiatan mendongeng/bercerita ini, itulah yang saya maksudkan sebagai ‘reproduksi budaya’ pada judul tulisan di atas – dari kondisi budaya sebelumnya berubah menjadi suatu kondisi budaya yang lebih baik. Itulah harapan dari sebuah proses, yaitu, tentunya, bergerak kearah yang lebih baik atau positif.
Kegiatan (kebiasaan) mendongeng atau bercerita ini sepertinya mulai luntur atau bahkan sudah kritis sekali keberadaannya di Nusantara ini. Mengingat besarnya manfaat mendongeng, terutama untuk proses berbudaya yang lebih baik, sudah sepatutnya kegiatan yang baik dan bermanfaat ini dapat ditingkatkan dan disebar-luaskan lebih giat lagi – terutama bila dimungkinkan menjadi bagian dari sistem pendidikan yang berlaku di tanah air kita ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H