Privilese itu ada di tengah masyarakat, tidak perlu ditampik. Faktanya memang ada sekelompok orang yang memiliki hak istimewa atau akses terhadap hal-hal yang tidak bisa dirasakan kebanyakan orang.Â
Pertanyaan kritisnya buat saya adalah untuk apa privilese itu digunakan? Untuk mempertahankan oligarki kapital atau bersediakah tuan puan pemilik privilese itu berbagi hak istimewanya dengan sebanyak-banyaknya orang yang tidak memiliki hak yang sama?Â
Karena disadari atau tidak, privilese memang (berpotensi) membawa pemisahan. Saya tidak mau ambil contoh yang terlalu ekstrem, misalnya membandingkan orang super kaya dengan orang super miskin.Â
Mari lihat yang mirip-mirip saja. Kelas menengah di urban punya privilese terhadap akses pelayanan kesehatan yang lebih baik daripada kaum menengah di pedalaman.Â
Mereka tidak perlu terlalu khawatir anak-anak mereka meninggal karena penyakit yang sebenarnya sudah ada obatnya. Tapi bagi mereka yang ada di pedalaman, akses ke pelayanan kesehatan dasar pun kadang mereka tak punya!
Jujur saja, berbagi apalagi melepaskan hak istimewa itu tidak mudah. Perlu pemahaman tentang kesejahteraan bersama, kerendahan hati, kepentingan orang lain, dan pengorbanan.Â
Dan ketika beredar kekhawatiran tentang pemilihan staf khusus milenial, saya rasa masih dalam batas wajar dan perlu diperhatikan. Benar bahwa tidak semua anak-anak muda yang jadi stafsus itu datang dari kelompok pemilik privilese.Â
Tapi realitanya, sebagian memang ada yang demikian, bukan? Orang menjadi ragu, apakah pemilihan mereka bisa benar-benar menjadi penghubung dengan kelompok milenial yang marjinal atau hanya basa-basi belaka?Â
Saya rasa pembuktiannya tidak sekarang. Nanti saja. Dan pasti akan kelihatan, apakah pemilihan tersebut lebih bermanfaat untuk menjaga kepentingan oligarki atau memang bermanfaat bagi kepentingan sebanyak-banyaknya orang? Â Â