"Ayo kita makan bolu" begitu ajak seorang teman ketika saya di Makassar. Sebenarnya dalam benak muncul pertanyaan tanda heran. Siang hari bolong begini, saat "kampung tengah" sudah mulai bernyanyi minta diisi, malah bolu yang ditawarkan bukannya makan nasi.
Tak lama kami sampai di salah satu warung, yang dipilih kawan itu dari sederet warung makan yang ada di situ. Rupanya ini warung langganan sang kawan. Di depan warung terlihat perapian dengan arang yang membara. Diatasnya tergeletak potongan-potongan ikan bandeng yang dipanggang. Rupanya bolu itu sebutan orang Makassar untuk ikan bandeng, bukan kue bolu.
Ikan bandeng atau chanos-chanos, milkfish kata orang Inggris, hidup di air payau. Air payau merupakan campuran antara air tawar dan air laut, dengan kadar garam rendah, banyak ditemukan di daerah-daerah muara dan memiliki keanekaragaman hayati tersendiri, salah satu penghuninya ikan bandeng ini.
Sebagaimana ikan umumnya bandeng merupakan sumber protein hewani yang mengandung asam amino esensial bernilai biologis tinggi. Selain kandungan lemaknya rendah, kaya vitamin dan mineral juga.
Ikan Bandeng konon dalam catatan sejarahnya, tersebar mulai dari Samudera Hindia, sepanjang pantai Amerika, Afrika, bagian Selatan Jepang sampai bagian Utara Australia.
Bandeng rasanya memang enak, tetapi waktu memakannya harus hati-hati karena dagingnya banyak berduri. Olahannya beragam, kalau di daerah Makassar lazimnya di panggang, atau diolah sebagai pallumara, dengan rasa asam pedas yang segar.
Di Banten, khususnya Kota Serang ada sate bandeng yang cukup terkenal.
Sesuai namanya, sate yang satu ini menggunakan bahan dasar dari daging ikan bandeng. Ini salah satu kuliner yang memadukan daging ikan bandeng yang dihilangkan durinya dengan santan dan bunbu-bumbu bawang merah, gula merah, garam. Kemudian daging yang sudah berbumbu dimasukkan kembali ke kulit bandeng, lalu ditusuk atau dijepit dengan potongan bambu. Dibakar di atas bara arang. Sayang hanya bertahan sehari, tetapi jika disimpan dalam lemari es bisa bertahan sampai 3 hari.
Konon makanan olahan dari ikan bandeng ini di Banten sudah ada sejak era Sultan Maulana Hassanudin, sultan Banten pertama tahun 1552-1570. Kisah awalnya diperkenalkan oleh juru masak kerajaan Banten Girang pada abad ke 16 untuk menjamu para tamu kerajaan. Masalahnya ikan ini banyak durinya. Ibarat kata pepatah tiba masa tiba akal, muncul ide membuat sate dari daging ikan bandeng ini. Itulah cara berpikir kreatif inovatif, tidak hanya melihat sesuatu hanya apa adanya, tetapi apa yang bisa ada dari apa yang ada.
Di Betawi sejak zaman dulu ada kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menjadikan bandeng sebagai hadiah kepada orang tua. Semakin besar ukuran ikan bandeng yang diberikan, itu menandakan semakin besar cintai kasih anak kepada orang tua.
Kebiasaan ini diwariskan dan melekat di budaya Betawi. Karena dianggap sajian ikan bandeng melambangkan ikatan persaudaraan yang kuat.