"Tukang sate naik kambing, ditusuk sama biting terguling-guling" itu sepenggal lirik lagu yang sering dinyanyikan anak-anak tempo doeloe. Mungkin sekarang tak banyak dikenal dan diingat lagi.
Kali ini cerita sate khas dari Bali. Bali yang dikenal juga sebagai pulau dewata memang sudah kondang di manca negara. Seni budaya dan pemandangan alamnya cukup mempesona. Ini menjadikan Bali sebagai destinasi wisata para wisatawan lokal maupun international.
Dari segi dunia kuliner juga cukup terkenal. Salah satu yang khas adalah sate lilit. Kalau soal sate hampir di semua negara Asia dapat ditemukan. Konsepnya hampir sama, daging bisa beragam dipotong kecil-kecil, ditusuk dengan biting atau tusuk sate.
Konon soal sate secara umum catatan referensi menunjukkan, makanan sate muncul di Indonesia sekitar abad ke-15 dibawa oleh pedagang Arab yang datang ke Indonesia. Ada juga referensi yang menyatakan asalnya dari India.
Sate Lilit Bali awalnya makanan khas yang berasal dari daerah Klungkung dulunya hanya disajikan saat ada upacara keagamaan. Sekarang banyak dijual di rumah-rumah makan atau pedagang ditepi jalan yang menjajakan makanan khas Bali.
Tidak seperti sate lainnya yang dibuat dengan tusuk sate  atau biting, tusuk sate lilit berbentuk datar dan lebar namanya ketik. Permukaan yang lebih luas memungkinkan daging atau ikan  yang dicincang, dicampur bumbu, santan dan kelapa parut dililitkan. Dalam bahasa Bali lilit berarti bungkus. Karena daging tidak ditusuk melainkan dililitkan pada tusuknya.
Filosofinya melambangkan masyarakat Bali yang selalu bersatu. Dulu sate lilit hanya boleh dibuat oleh kaum pria, mulai dari meracik adonan sampai membakarnya. Setiap pria Bali harus bisa membuat sate lilit. Karena itu sate lilit dianggap sebagai simbol kejantanan kaum pria.
Selain sate lilit ada lagi sate lain yang dinamakan sate kables atau sate kuwung, sate pusuh, sate languan, sate lembat. Umumnya bahan dasarnya sama daging atau ikan.
Sate lilit biasa disajikan dengan Lawar yaitu sayuran  yang dicampur dengan daging dicincang diberi rempah bumbu seperti kunyit, kemiri, bawang merah, bawang putih, dan kelapa diparut. Ada juga jenis lawar dicampur darah yang memberi cita rasa tersendiri.
Tentu saja makanan tradisional seperti ini banyak memberikan asupan zat gizi dari berbagai bahan dasarnya Patut dilestarikan sebagai warisan para leluhur yang penuh dengan kearifan lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H