Menyisir lika-liku dunia kuliner memang unik dan menarik. Bagi para pemburu makanan khas dan terkenal di suatu daerah pasti hal ini pantang dilewatkan.
Sejak dari persiapan akan take off dari bandara Soeta di Cengkareng menuju Yogyakarta, Â jari jemari kawan yang satu ini sudah berselancar di tilpon selularnya. Tak lama muncul foto yang dia perlihatkan. Judulnya Tengkleng Gajah.
Sepintas saja kami perhatikan dan menganggap hal itu biasa gebrakan promosi sekedar memancing rasa penasaran pembeli. Sesampainya di Yogya, menjelang berbuka puasa rupanya serius juga ditawarkan kepada kami untuk mencicipi menu ini. Kendaraan pun sudah disiapkan lewat seorang kawan kerja lama yang orang Yogya.
Tak lama meluncurlah kami ke arah Kali Urang, Bulurejo Minomartani Ngaglik Sleman, lokasi menu unik ini. Ketika duduk menunggu waktu berbuka, kami sempat melirik ke meja tetangga disebelah kiri dan depan tempat kami duduk.Â
Agak terkesiap juga ketika melihat porsi yang disajikan. Tambah tercengang lagi ketika pesanan kami datang. Potongan-potongan "balung" alias tulang sapi berbalut daging teronggok di piring.Â
Tidak tanggung-tanggung dua rasa dipesan, satu original dengan santan gulai yang encer, satu lagi yang bakar dengan bumbu kecap Manis pedas. Belum lagi dua porsi sate yang potongan dagingnya cukup besar. Soal nasi disilakan mengambil sendiri sesuai ukuran porsi dan kapasitas perut masing-masing.
Tengkleng ini konon panjang riwayat perjalanannya. Asal mulanya dari daerah Solo.
Tempo doloe, menurut para tetua di kota Solo hanya para bangsawan dan orang-orang Belanda saja yang bisa menikmati masakan daging kambing. Hanya kepala, kaki, dan tulang saja yang tersisa untuk pekerja dan tukang masak. Para juru masak pada waktu itu tak kurang akal, maka diolahlah tulang belulang itu yang masih ada  sedikit daging menempel di sana sini. Olahan  ini mirip dengan gulai kambing, hanya berkuah lebih encer, ada juga  yang "nyemek" berkuah sedikit.
"Tengkleng lahir dari suatu kreativitas wong Solo" begitu kata Heri Priyatmoko pakar sejarah dari Sanata Dharma. Itu kiat dalam menghadapi situasi yang mencekik, tepatnya masa penjajahan Jepang," Â Memang saat itu Rakyat Solo hidup sengsara dalam tekanan penjajah. Bahan makanan pun terbatas termasuk bahan makanan sumber protein hewani. Kaum papa terpaksa mengolah apapun menjadi sesuatu yang dapat di santap sekedar mengganjal perut menahan rasa lapar.
Tengkleng Gajah memang suatu modifikasi untuk mengemukakan penampilan, untuk menggelitik selera makan lewat tatapan mata. Pengunjung pun membludak silih berganti memuaskan selera.
Namun hati-hati juga kalau terlalu sering dalam porsi jumbo seperti itu tentu bisa membawa masalah bagi kesehatan. Daging merah seperti daging sapi cukup tinggi kadar kolesterolnya.Â
Diketahui jika terjadi hiper kolesterol ini akan berakibat Penyakit Tidak Menular, seperti jantung Koroner dan sebagainya. Karenanya dianjurkan untuk mengonsumsi daging berwarna putih seperti ikan dan unggas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H