Merdeka. Merdeka adalah bebas. Bebas dari segala bentuk penjajahan, tuntutan, ikatan, atau mungkin, ketidakadilan(?). Setidaknya itu pemahaman saya mengenai merdeka. Sebuah kata yang tidak habis-habisnya digaungkan oleh orang Indonesia, apalagi menjelang perayaan kemerdekaan. Perayaannya nyata dan selalu dilaksanakan dengan meriah. Kemerdekaannya? Saya rasa belum layak kalau kita hanya merayakan kemerdekaan secara simbolik.Â
Betul adanya bahwa Indonesia sudah berdiri sebagai negara yang pemerintahannya berdaulat dan diakui di mata internasional. Merdeka secara struktur. Bebas dari segala bentuk pendudukan dan kolonialisme. Namun itu adalah Indonesia sebatas struktur. Bukan refleksi kemerdakaan yang mengakar. Menurut saya, kemerdekaan yang mengakar artinya manifestasi utuh akan kebebasan mendasar yang diyakini Indonesia. Melebihi itu, kemerdekaan yang mengakar adalah kemerdekaan di dalam pikiran.Â
Kesadaran anti represi dan penghargaan hak orang lain adalah bentuk penunaian sederhana dalam kemerdekaan yang sesungguhnya. Ironis jadinya ketika setiap tahun, tepat pada tanggal 17 Agustus ini kita mengagungkan kemerdekaan tapi berhenti pada tahap seremonial saja. Selain hari itu, semua berjalan biasa saja. Diskriminasi minoritas masih berjalan, stigma masih dipupuk, dan penyelewengan anggaran masih berjalan lancar bahkan dinormalisasi.Â
Hak-hak mendasar seperti kebebasan beragama, berpendapat, pendidikan, perlindungan hukum masih menjadi pertanyaan dalam manifestasinya. Variabel-variabel luas akan hak yang tercantum dalam UUD 1945 28 A sampai 28J seolah-olah hanya sekedar menjadi syair formalitas dari nilai apa yang pernah kita yakini sebagai hak.
Berkaca pada Peristiwa-Peristiwa Lalu
Peristiwa Tanjung Priok, penculikan aktivis, atau pembunuhan Munir mungkin sudah terlalu sering disinggung dan kurang relevan melihat pemerintahan sekarang yang tidak se-otoriter era orba. Harapan baru lahir pasca-reformasi. Manifestasi kemerdekaan yang mengakar dan nyata memiliki ruang untuk lahir. Tapi sudahkah ditunaikan? Atau masih harus dicicil perlahan? Nyatanya rapor HAM Indonesia dalam kurun waktu 3 tahun kebelakang masih penuh tanda merah. 20 tahun lebih pasca reformasi, sudah seberapa mampu kita mewujudkan kemerdekaan? Kata diskriminasi saya garis bawahi kali ini.
 Ambillah kasus TWK KPK yang belum lama terjadi. Pegawai yang menjalani tes tersebut harus menerima label anti-pancasila dari variabel absurd yang digunakan. Pertanyaan-pertanyaan irrelevan yang perlu dipertanyakan dasarnya. Dari referensi yang saya baca dan sesuai pernyataan KOMNAS HAM, pemberhentian pegawai KPK ini digolongkan sebagai tindakan diskriminasi sistematis .Â
Terlepas dari hasil apa yang muncul sebagai penyelesaian konflik ini kelak, saya yakin ada sesuatu yang salah. Saya bukan ahli hukum, bukan pula anggota KPK. Tapi saya yakin bahwa ada campur tangan pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab baik dalam tim perumus TWK, jajaran direksi KPK, atau sistem birokrasi itu sendiri. Kali ini, kekuatan dan uang dipakai untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak selaras dengan keinginan penjahat birokrasi. Bosan rasanya melihat orang-orang yang tidak kompeten, cacat mental, dan tidak berhati duduk di posisi eksekutif.
Atau bisakah kita mengingat kembali peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019? Peristiwa ini dipicu oleh apa yang dinilai dengan penistaan terhadap lambang negara. Namun ada terlalu banyak kejanggalan dalam peristiwa pembuangan bendera. Tidak ada penetapan tersangka pula mengenai siapa yang merusak bendera, atau alasan jelas dibalik perusakan tersebut. Rumor beredar, kesalahpahaman muncul dimana-mana. Mengingat mahasiswa Papua berada di pihak minoritas dan masyarakat Papua memiliki sejarah panjang separatisme , sudah jelas mereka dapat menjadi sasaran empuk. Saya pun tidak berhak menentukan siapa yang salah siapa yang benar, toh saya tidak menyaksikan langsung.Â
Sangat memungkinkan apabila ada oknum-oknum yang sengaja menciptakan pandangan buruk atau memprovokasi kebencian terhadap representasi kecil Papua di Surabaya. Namun, bila memang ada kekecewaan masyarakat Papua terhadap pemerintahan Indonesia, saya tidak akan terkejut bahkan mungkin memaklumi kekecewaan mereka. Yang kemudian perlu dikoreksi mungkin metode dari pengungkapan ekspresi. Itupun kalau memang benar perusakan bendera itu dilakukan oleh mereka (mahasiswa Papua)
Nyatanya, infrastruktur Papua, keterjangkauan fasilitas, dan akses pendidikan belum mengalami progres signifikan dari tahun ke tahun. Wajar bila masyarakatnya merasa dianak-tirikan. Betul adanya bahwa memang tidak mudah mencapai area-area bermedan sulit. Tapi rasanya anggaran triliunan rupiah Indonesia bukan tidak bisa dialokasikan untuk daerah luar Jawa. Sikap-sikap dan stigma terhadap orang Papuan atau orang dengan ras Melanesia mengingatkan saya akan sikap bangsa eropa terhadap orang Afrika, bedanya peristiwa itu sudah terjadi ratusan tahun lalu. Kita tidak kunjung sampai pada titik dewasa kemanusiaan. Bahkan cara dari banyak orang memperlakukan masyarakat Papua dan orang dengan ras Melanesia masih tergolong primitif dan tidak manusiawi. Warna kulit dan logat menjadi cara orang menghakimi. Sudah merdeka kah pola pikir seperti ini?Â
Memerdekakan Alam Pikir
Memerdekakan alam pikir artinya memahami arti merdeka dalam banyak aspek, dan mampu mewujudkan sikap merdeka. Merdeka bagi diri, merdeka untuk sesama. Hilangnya intervensi perwujudan hak dan akseptasi multikulturalisme. Berdamai dengan keadaan dan keterbatasan struktural dimana keadilan belum dapat terwujudkan dengan mudah. Namun sadar bahwa manifestasi merdeka dapat dimulai dari diri sendiri.
Pendidikan Kewarganegaraan di bangku SD tidak cukup untuk membekali anak-anak Indonesia. Arus doktrin dan miskonsepsi yang berbahaya jauh lebih kuat dari sekedar mengerjakan soal pilihan ganda seputar tanggal kemerdekaan. Godaan uang, kekuasaan, dan dorongan supremasi ras masih lebih kuat dari ceramah presiden saat pengibaran bendera di istana. Sebelum lebih jauh mewujudkan kemerdekaan yang mengakar pada masyarakat Indonesia, memerdekakan diri menjadi lebih penting. Memerdekakan diri dari kebencian irrasional terhadap golongan tertentu, supremasi agama, doktrin turun-temurun, stigma ras atau bahkan rasa takut akan berpendapat.
Merdeka tidak berhenti pada seremoni, kata-kata, lagu, atau tulisan di gapura desa. Merdeka bisa dimulai dengan menerima, memahami, dan memaklumi. Bukan meniadakan perbedaan tapi menerima sebagai bagian dari identitas. Merdeka juga tentang mencukupkan diri, dan mecukupkan orang lain atas hak-hak mendasar. Lebih dalam lagi, merdeka harus lahir di alam pikir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI