Mohon tunggu...
Abraham Raditya T. P.
Abraham Raditya T. P. Mohon Tunggu... Musisi - Aku bertanya maka aku ada.

Sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menilik Kembali Arti Kemerdekaan

17 Agustus 2021   12:43 Diperbarui: 17 Agustus 2021   15:57 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source : fimela.com

Nyatanya, infrastruktur Papua, keterjangkauan fasilitas, dan akses pendidikan belum mengalami progres signifikan dari tahun ke tahun. Wajar bila masyarakatnya merasa dianak-tirikan. Betul adanya bahwa memang tidak mudah mencapai area-area bermedan sulit. Tapi rasanya anggaran triliunan rupiah Indonesia bukan tidak bisa dialokasikan untuk daerah luar Jawa. Sikap-sikap dan stigma terhadap orang Papuan atau orang dengan ras Melanesia mengingatkan saya akan sikap bangsa eropa terhadap orang Afrika, bedanya peristiwa itu sudah terjadi ratusan tahun lalu. Kita tidak kunjung sampai pada titik dewasa kemanusiaan. Bahkan cara dari banyak orang memperlakukan masyarakat Papua dan orang dengan ras Melanesia masih tergolong primitif dan tidak manusiawi. Warna kulit dan logat menjadi cara orang menghakimi. Sudah merdeka kah pola pikir seperti ini? 

Memerdekakan Alam Pikir

Memerdekakan alam pikir artinya memahami arti merdeka dalam banyak aspek, dan mampu mewujudkan sikap merdeka. Merdeka bagi diri, merdeka untuk sesama. Hilangnya intervensi perwujudan hak dan akseptasi multikulturalisme. Berdamai dengan keadaan dan keterbatasan struktural dimana keadilan belum dapat terwujudkan dengan mudah. Namun sadar bahwa manifestasi merdeka dapat dimulai dari diri sendiri.

Pendidikan Kewarganegaraan di bangku SD tidak cukup untuk membekali anak-anak Indonesia. Arus doktrin dan miskonsepsi yang berbahaya jauh lebih kuat dari sekedar mengerjakan soal pilihan ganda seputar tanggal kemerdekaan. Godaan uang, kekuasaan, dan dorongan supremasi ras masih lebih kuat dari ceramah presiden saat pengibaran bendera di istana. Sebelum lebih jauh mewujudkan kemerdekaan yang mengakar pada masyarakat Indonesia, memerdekakan diri menjadi lebih penting. Memerdekakan diri dari kebencian irrasional terhadap golongan tertentu, supremasi agama, doktrin turun-temurun, stigma ras atau bahkan rasa takut akan berpendapat.

Merdeka tidak berhenti pada seremoni, kata-kata, lagu, atau tulisan di gapura desa. Merdeka bisa dimulai dengan menerima, memahami, dan memaklumi. Bukan meniadakan perbedaan tapi menerima sebagai bagian dari identitas. Merdeka juga tentang mencukupkan diri, dan mecukupkan orang lain atas hak-hak mendasar. Lebih dalam lagi, merdeka harus lahir di alam pikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun