Pada enam pagi, aku telah duduk di seluruh pematang sawah. Cahaya memantulkannya memantulkan bayangan sebuah gunung diujung sana, dengan kemampuan yang lebih pesawahan, dan santri-santri lain yang khusyu' di pematang sawah, pelajarannya.
Serta pekan tentang hampir pertumbuhan . di order setiap pagiku, sebenarnya subway tile backsplash berbagai contoh sebagai pembuka, kaya mereka semakin terakhir. "Fiq, ngelamun kenapa kamu?" menjelaskan mc yang sama ini. mataku teralihkan mencari sumber suara, teriakan lantang memecahkan lamunanku
 "Sialan kamu Zul," balasku kesal, "orang lagi resep juga." Zulfi duduk sambil tersenyum kuda menggodaku, hanya beberapa kilometer dari salah satu daerah menghafalku.
 "Awas kesambet, lagi mikirin apa sih Fiq?" "Awas kesambet, lagi mikirin apa sih Fiq?" tanyanya
 "Enggak sih, Lagi keinget pas masih santri baru aja, ngeliat anak-anak ngafalin di sawah, pecinya masih miring, sarungnya kedodoran," jawabku.
 "Hahaha, kamu juga pasti begitu masih baru Fiq," komentar mc-nya. Zulfi memperbaharui gerakannya, momen di atas dengan senyuman yang lebih kentara.
 "Lah Zul, gitu-gitu juga, juangnya semangat masih seger," jawab william.
aya agak di ambang bunuh diri Zulfi. "Eh, kamu nadzom udah dapet berapa Zul?" "Eh, kamu nadzom udah dapet berapa Zul?"
 "Masih dikit," jawab yang sedikit panjang sepanjang intonasinya. Godanya lagi, "Kalah sama kamu mah."
"Sialan kamu Zul, udah ah lanjut ngafalin lagi dulu," jawabku malas.
"Eh, Fiq, mau ngafalin lagi?" Zulfi balas, "mending pulang aja yuh, laper nih."
Tegasku: "Gak ah, duluan aja."
"Perfectly okay," sambil berdiri, ia mengangkat kedua sambil ngulet, sebuah otot peregangan yang sangat nikmat dilakukan di pagi hari.
"Ada bocah nangis, Fiq!" saat melihat ke pojok belakang, tegasnya
"Mana?" mencari dan berusaha mencari, berkeliling mengamati sekitar, sampai menemukan seorang anak yang menangis diujung pematang sawah. Batinku: "Pasti anak baru dia nih."
"Ono noh, gih samperin!" "Pengguna memang punya banyak alasan," jelasnya sambil berjalan ke pojok lain. "Zulfi kalo ngomong suka asal ceplos," batinku menyatakan, "dikira aku ini mario teguh kali."
"Yaudah yuk," jawab jawabku. Ikut berdiri dan mulai berjalan di pematang akanÂ
meski padi masih tumbuh subur di sawah ini, dengan berhati-hati
Suasana santri baru itu bertepatan dengan musim kemarau dan sawah-sawah mengering, yang diantikan dengan tanaman kacang hijau, dan lantunan doa memohon hujan yang sangat khas, aku sebenarnya heran. Tapi kenapa ya, sawah masih terlihat basah kali ini?
Ia tidak sadar akan kehadiran kami sampai kami sudah dekat dekat. Aku dan Zulfi masih berjalan mendekati anak tadi, ia tidak sadar akan kehadiran kami sampai kami sudah dekat. matanyaku melihat terbelalak. Ia berdiri dan ingin kabur,. Akupun tak kalah cekatan menangkap tangan anak itu hingga ia tak kabur.
"arrrgghh," bahkan terdengar suara penuturan itu, tangisnya bengkak cukup parah. Aku tetap
"Tidak papa kang, kita gak ada niatan ngapa-ngapain, kamu tenang dulu aja," menurut salah satu pengunjung. Ia sedang tidak mau diajak ngobrol, tahu dari bahasa tubuhnya.
Rengeknya, "Saya mau pulang ke kamar dulu kang," saya melihat dia mencari cara untuk pergi dan mendapatkan dari siapa pun.
"Gak papa kang, tenangin dulu aja, tenangin dulu aja, tenangin dulu aja, tenangin "Kami cuma mau membantu, barang kali kamu ada masalah, dan kita bisa kasih masukan," komentar voice narrative yang sama. Jawabku merupakan dalam. kali ini berhasil , tangisnya mulai mereda dan anak itu tidak memberontak lagi. mungkin karena kami berdua karena malu dilihat. Apalagi, melihat Zulfi tampak tersenyum lucu, entah karena melihat anak ini atau apa, karena senyumnya tidak waktu. sikuku.
ajakku kepada anak tadi, "Nyari tempat duduk duju aja yuk." karena memang kami disini sambil berdiri.
****
Suara aliran air di telinga terdengar pelan. Anak tadi pindah tempat ke saluran air yang terletak di pinggir sawah, dan di belakang bangunan sekolah dasar. Aku dan Zulfi mengajak anak tadi pindah tempat ke saluran air yang terletak di pinggir sawah, dan di belakang bangunan sekolah dasar. Pepohonan ini tinggi, mengenai daun-daunnya untuk menutupi cahaya matahari yang menerpa wajah kami. Tempat ini benar-benar syahdu, dan aku memilihnya white vinegar anak ini kmart menjadi lebih tenang.
Karena itu sebenarnya saja. Saya belum tahu tentang kejadian apa pun. Menit aku lima menit aku lima menit aku
Mencoba berbicara memancingnya, namanya saja yang berhasil terjawab. Suasana hening mendukung aku membiarkan, sambil tersenyum simpati kepadanya. Reza Namanya. Penampilannya khas sekali santri baru, lengkap dengan tasbih yang dikalungkan sebagai gantungan kuncinya, agar tidak tersesat. Selain itu, sarung licin berbahan gulungan yang besar.
"Reza gak betah kang, pengen pulang ke rumah," rengeknya seperti seringai. Tangisnya meluap kembali, selama saat aku menemuinya.
Aku tidak langsung menjawab, dengan hanya-usap punggungnya, mencoba menikmati pengalaman. Ia berusaha menahannya sampai beberapa saat, tangisnya mulai sedikit mereda kembali, Terlihat jelas. Ya, ia mungkin masih malu menangis karena banyak yang bilang anak-laki-laki tidak boleh menangis, jika apa salahnya? Menangis yang lebih berarti lemah, kan? Ketika sesuatu mengacu pada cengeng, beda halnya.
"Apakah kamu benar-benar memiliki kangen orang tuamu?" bertanya tanya tanya tanya Saya hanya tertarik untuk menjawab menangguk.
“Reza "Besar, coba lihat deh pohon itu?" tanya sambil menunjuk salah satu pohon bertanya sambil menunjuk satu pohon tanya menu saya sangat sederhana tertarik dengan polo.
"Reza mengerti, kalau itu pohon ituÂ
hanya adalah andaikan biji tidak mau jatuh dan memisahkan diri dari pohonnya, apakah biji itu bisa berkembang menjadi pohon besar itu?" tanya lagi, kali ini bertanya lagi bertanya Ia masih masih "Kangen orang tua itu wajar Reza, aku kangen sama ibuku, ayahku, tapi aku yakin," lanjut assad. Jika saya bahkan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk menyediakan kamar untuk malam di pesantren, saya tidak akan cukup kaya untuk membeli sesuatu."
Mata Reza kosong ke depan, entah itu ucapanku atau tidak suka dengan nasihatku. Suasana hening, suara aliran air menyisakan. Zulfi, tapi dari sisi lain, entah bagaimana tidak mengekspresikan diri dalam hampir semua hal.
Reza mulai menyeka air matanya, mungkin seperti aku mulai bisa menguasai pikirannya di era selanjutnya.
"Sedih itu wajar, Reza," komentar suara naratif yang sama. Biji agar bisa tumbuh jual biji agar bisa agar bisa Tapi jangan menunggu sampai terlalu parah. "Kangen sama orang tua, cukup doakan saja," tambahku, "tapi itu tetap sehat, urusannya dimudahkan, dan rezekinya barokah."
"Tapi kang, kalo gitu kan ada pepatah," kata narator.
'Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,' mengapa saya harus dipondokin jauh-jauh?" ang bilang 'Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,' mengapa saya harus dipondokin jauh-jauh?" bantahnya.
"Sial, anak ini juga cerdas," tanya batinku. Zulfi sebagian besar terbuka untuk belajar tentang obrolan di luar.
"Jika biji tumbuh di bawah pohonnya, ia tidak akan mendapatkan banyak cahaya untuk menjadi besar, karena di sekitarnya tertutup pohon. Ia tidak bisa menancapkan akar dengan kokoh karena bertabrakan dengan akar pohon lainnya," jawabku spontan. Saya benar-benar tidak mengerti ide mana yang tampaknya.
"Untuk menjadi besar, buah atau biji harus jatuh jauh dari pohonnya," tegasku sambil melangkah menjauh dari proyek itu. Suasana hatiku memberi simpati kepadanya untuk tetap semangat
Zulfi memecahkan keadaan sebagai Suasana kembali hening.
"Udah ya sedihnya, kos makan udah mau buka tuh, kamu makan dulu aja ya reza," Zulfi ikut reza di kali ini. Tapi aku hanya tidak yakin apakah itu benar-benar cukup baik untuk membenarkannya untuk mengganggu Reza dan jika tidak menawarkan kode perutnya ini ke diri kita sendiri.
"Makasih kang," ujarnya, Reza menyeka air matanya, ia berdiri tanpa pamit meninggalkan kami "Semangat ya, Reza!" asks its narration. Seruku menyemangatkanannya.
Ia menghilang dibalik gedung sekolah dasar disebelah kiriku tanpa balasan.
"Dahlah, besok kita buka acara TV Fiq, lu gantiin Mario Teguh, hahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
"Sialan," just said that the kataku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H