Mencoba berbicara memancingnya, namanya saja yang berhasil terjawab. Suasana hening mendukung aku membiarkan, sambil tersenyum simpati kepadanya. Reza Namanya. Penampilannya khas sekali santri baru, lengkap dengan tasbih yang dikalungkan sebagai gantungan kuncinya, agar tidak tersesat. Selain itu, sarung licin berbahan gulungan yang besar.
"Reza gak betah kang, pengen pulang ke rumah," rengeknya seperti seringai. Tangisnya meluap kembali, selama saat aku menemuinya.
Aku tidak langsung menjawab, dengan hanya-usap punggungnya, mencoba menikmati pengalaman. Ia berusaha menahannya sampai beberapa saat, tangisnya mulai sedikit mereda kembali, Terlihat jelas. Ya, ia mungkin masih malu menangis karena banyak yang bilang anak-laki-laki tidak boleh menangis, jika apa salahnya? Menangis yang lebih berarti lemah, kan? Ketika sesuatu mengacu pada cengeng, beda halnya.
"Apakah kamu benar-benar memiliki kangen orang tuamu?" bertanya tanya tanya tanya Saya hanya tertarik untuk menjawab menangguk.
“Reza "Besar, coba lihat deh pohon itu?" tanya sambil menunjuk salah satu pohon bertanya sambil menunjuk satu pohon tanya menu saya sangat sederhana tertarik dengan polo.
"Reza mengerti, kalau itu pohon ituÂ
hanya adalah andaikan biji tidak mau jatuh dan memisahkan diri dari pohonnya, apakah biji itu bisa berkembang menjadi pohon besar itu?" tanya lagi, kali ini bertanya lagi bertanya Ia masih masih "Kangen orang tua itu wajar Reza, aku kangen sama ibuku, ayahku, tapi aku yakin," lanjut assad. Jika saya bahkan tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk menyediakan kamar untuk malam di pesantren, saya tidak akan cukup kaya untuk membeli sesuatu."
Mata Reza kosong ke depan, entah itu ucapanku atau tidak suka dengan nasihatku. Suasana hening, suara aliran air menyisakan. Zulfi, tapi dari sisi lain, entah bagaimana tidak mengekspresikan diri dalam hampir semua hal.
Reza mulai menyeka air matanya, mungkin seperti aku mulai bisa menguasai pikirannya di era selanjutnya.
"Sedih itu wajar, Reza," komentar suara naratif yang sama. Biji agar bisa tumbuh jual biji agar bisa agar bisa Tapi jangan menunggu sampai terlalu parah. "Kangen sama orang tua, cukup doakan saja," tambahku, "tapi itu tetap sehat, urusannya dimudahkan, dan rezekinya barokah."
"Tapi kang, kalo gitu kan ada pepatah," kata narator.
'Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,' mengapa saya harus dipondokin jauh-jauh?" ang bilang 'Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya,' mengapa saya harus dipondokin jauh-jauh?" bantahnya.
"Sial, anak ini juga cerdas," tanya batinku. Zulfi sebagian besar terbuka untuk belajar tentang obrolan di luar.
"Jika biji tumbuh di bawah pohonnya, ia tidak akan mendapatkan banyak cahaya untuk menjadi besar, karena di sekitarnya tertutup pohon. Ia tidak bisa menancapkan akar dengan kokoh karena bertabrakan dengan akar pohon lainnya," jawabku spontan. Saya benar-benar tidak mengerti ide mana yang tampaknya.
"Untuk menjadi besar, buah atau biji harus jatuh jauh dari pohonnya," tegasku sambil melangkah menjauh dari proyek itu. Suasana hatiku memberi simpati kepadanya untuk tetap semangat
Zulfi memecahkan keadaan sebagai Suasana kembali hening.
"Udah ya sedihnya, kos makan udah mau buka tuh, kamu makan dulu aja ya reza," Zulfi ikut reza di kali ini. Tapi aku hanya tidak yakin apakah itu benar-benar cukup baik untuk membenarkannya untuk mengganggu Reza dan jika tidak menawarkan kode perutnya ini ke diri kita sendiri.
"Makasih kang," ujarnya, Reza menyeka air matanya, ia berdiri tanpa pamit meninggalkan kami "Semangat ya, Reza!" asks its narration. Seruku menyemangatkanannya.
Ia menghilang dibalik gedung sekolah dasar disebelah kiriku tanpa balasan.
"Dahlah, besok kita buka acara TV Fiq, lu gantiin Mario Teguh, hahahahahahahahahahahahahahahahahahaha
"Sialan," just said that the kataku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H