Mohon tunggu...
Abraham FanggidaE
Abraham FanggidaE Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Abraham FanggidaE

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengelola Kompasiana Peduli Difabel di Jakarta

22 November 2009   03:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:14 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pengelola Kompasiana Peduli Difabel di Jakarta

Abraham FanggidaE

Pengelola Kompasiana adalah sistem sumber bagi difabel (Penyandang cacat). Bahkan, tak berlebihan, Pengelola Kompasiana setara dengan Pekerja Sosial yang respek terhadap masalah dan kebutuhan, terutama bagi difabel. Pengelola Kompasiana terlibat dalam proses pertolongan, memberi jawaban apa yang menjadi hak difabel. Kini puluhan orang difabel sudah bisa mengepresikan diri menulis apa yang ingin ditulis, memiliki email untuk menulisdi blok Kompasiana untuk dibaca oleh pekerja sosial di Indonesia dan dunia, termasuk bagi siapa saja yang peduli terhadap difabel.

Salim Assegaf Aldjufrie, Menteri Sosial, yang dilakukan Pengelola Kompasiana adalah sumbangan nyata yang berarti sekali. Kompasiana telah berkontribusi bagi kegiatan mengisi agenda 100 hari kegiatan Departemen Sosial. Juga mengisi hari Penyandang Cacat Internasional (Hipenca), 3 Desember 2009.

Kita harus menyadari, penyandang cacatmerupakan bagian integral bangsa Indonesia,yang tidak terpisahkan dari anggota masyarakat lainnya. Mereka mempunyai kedudukan,hak, kewajiban dan peranyang sama sebagai warga negara Indonesia. Mereka merupakan aset negara bidang Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai mana manusia lainnya. Mereka memiliki potensi yang dapat dikembangkan sesuai dengan talenta yang dibawa sejak lahir. Namun karena kecacatan yang disandangnya sebahagian mereka mengalami hambatan fisik, mental dan sosial, untuk mengembangkan dirinya secara maksimal. Hal tersebut dicantumkan dalam UU No.4 Tahun 1997, tentang Penyandang Cacat, BAB I, pasal 1ayat 1,menyebutkan : Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari : a.penyandang cacat fisik., b. penyandang cacat mental., c. penyandang cacat fisik dan mental.

Permasalahan utama yang dihadapi penyandang cacat, di samping kecacatannya sendiri juga adalah kurangnya pemahaman para pihak yang terkait tentang penyandang cacat sehingga penanganan yang diberikan belum menjawab permasalahan. Penanganan yang dilaksanakan selama ini belum sepenuhnya didasarkan kepada kebutuhan penyandang cacat, tetapi didasarkan kepada kebutuhan lembaga/institusi agar memiliki kegiatan sesuai dengan fungsinya. Orientasi penanganan bukan kepada keberfungsian penyandang cacat tetapi keberfungsian lembaga, sehingga tujuan membantu penyandang cacat agar dapat membantu dirinya sendiri belum dapat terlaksana dengan baik. Dalam hal ini perlu adanya pencerahan kembali tentang orientasi penanganan penyandang cacat, agar didasarkan pada kebutuhan penyandang cacat itu sendiri bukan atas kebutuhan lembaga.

Salah satu jenis penyandang cacat yang termasuk di dalamanya adalah tunagrahita. Para Tunagrahita kita sebagiannya kini masuk dalam diklat Kompas, di Jakarta untuk dilatih antara lain bisa menulis artikel.

Masyarakat bertanya, siapa yang disebut Tunagrahita? Tunagrahita atau penyandang cacat mental/mental retardationperlu penanganan secara terencana, sistematis dan berkelanjutan.

Berdasarkan definisi dari American Association on Mental Retardatian/AAMR (Brenda duBois 2005 p.339) Mental retardationis a disability characterized by significant limitations both intellectual functioning and in adaptive behaviour as expressed in conceptual, social dan practical adaptive skill. This disability originates before age 18.

Mereka merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial yang cukup kompleks, tidak hanya menyangkut keadaan mental tetapi yang paling sulit adalah aspek sosialsehingga mereka mengalami kesulitan melaksanakan peran dan fungsi sosialnya. Masyarakat kurang memahami keberadaan penyandang cacat tunagrahita,dianggap tidak berdaya, orang lemah bahkan dianggap sama dengan orang sakit, tidak perlu diberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan di luar rumah,sehingga mereka tidak dapat mengembang-kan potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal. Tunagrahita mengalami berbagai hambatan dalam arti luas baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga, mereka menghadapi diskriminasi, stigmadan aksesibilitas yang tidak kandusif ditambah lagi kemampuan intelektual yang terbatas sehingga tidak dapat bersaing secara bebas. Hubungan antara individu di dalam masyarakat akan terganggu,karena di satu pihak merasa dibebani sementara pihak yang lain merasa jadi beban, akibatnya hubungan tidak serasi. Orang tua menjadi pemegang peran utama dalam membimbing anaknya yang tunagrahita. Di dalam keluarga, tunagrahitamemperoleh perlakuan yang berbeda dari orang tua, berupa perlindungan dan kasih sayang yang berlebihan. Perlakuan tersebut dilaksanakan oleh orang tuasebagai akibat kehawatiran orang tua terhadap keberadaantunagrahita, yang dianggap tidak mampu untuk menjaga diri sendiri, namun dilain pihak akan menimbulkan efek yang tidak baik kepadatunagrahita itu sendiri maupun anak anak lainnya.Di samping itu perlakuan orang tua secara berbeda terhadap anak tunagrahita dapat memicu kecemburuan dari pihak saudara-saudaranya. Kalau diamati perlakuan anggota – anggota keluarga lainnya, saudara-saudara dekat,famili kurang memperhatikan tunagrahita, mereka mempunyai pandangan tertentu terhadap keluarga keluarga yang mempunyai anggota tunagrahita. Kondisi tersebut turut menambah beban orang tua dimana seharusnya orang tua dan keluargalah yang menjadi pemegang peran utama dalam penanganan masalah tersebut.

Akibat selanjutnya tunagrahita mengalami berbagai hambatan yangmemerlukan penanganansecara komprehnsive, agar diskriminasi, stigma, pandangan negatif terhadap tunagrahita dapat diperkecil dan akhirnya dapat dihilangkan. Ketergantungan kepada orang tua, baik ekonomi maupun sosial sangat tinggi, mereka tinggal di rumah karena tidak dapat memasuki lapangan kerja terbuka, sementara di rumah tidak ada kegiatan yang dapat menghasilkan, maka mereka akan menjadi beban keluarga sepanjang masa. Keadaan demikian dapat terjadi kemungkinan karena kurangnya pengetahu-an keluarga tentang ketunagrahitaan serta cara-cara penanganannya. Dalam hal ini perlu adanya pembekalan kepada para orang tua, anggota keluarga /parenting skills and other children in the family serta anggota masyarakat disekitarnya.

Kita bisa mengaitkannya dengan teori perangkap kemiskinan, yang menyatakan: When poverty is very extreme, the poor do not have the ability- by themselves – to get out the mass. ( Jeffrey Sachs, 2005 p 56 ).Demikian halnya tunagrahita, dimana mereka berada dalam keadaan miskin, apabila masalah tunagrahita tidak ditangani dengan terencanamaka mereka akan tetap terperangkap dalam kemiskinan. Mereka tidak dapat keluar dari kemiskinan atas usaha mereka sendiri karena berbagai faktor al : secara fisik mereka tidak berdaya, kemampuan mental relatif rendah, modal tidak punya, ketrampilan tidak ada, hubungan dengan orang lain terbatas, kepercayaan diri samasekali tidak ada. Salah satu cara untuk mengatasinya memberi mereka kesempatan mengembangkan diri secara maksimal dan menyiapkan asesibilitas baik fisik maupun aksesibilitas non fisik.

Kebijakan pemerintah dalam menangani permasalahan sosial penyandang cacatdiarahkankepada perlindungan, pemulihan dan pemberdayaan penyandang cacat. Kebijakan tersebut menentukan upaya upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Khusus permasalahantunagrahita membutuhkan penanganan tersendiri karena mereka mengalami kesulitan dimana kemampuan atau kecerdasan mereka dibawah rata-rata. Robert L, Barker 1999, p.300,one diagnosed with mental retardation has an intelligence quotion (IQ) lower than 70. Degrees of mental retardation are delineated as follows: mild retardation (IQ range 20 -70), moderate (35-50), sever(20 -35),and profoud (below 20). The IQ score have a plus or minus 5 points to account for potential measurement error.

Selama ini hasil yang dicapai belumoptimal mengingat bahwa penanganan penyandang cacat tunagrahita, baru dalam taraf pelayanan, belum sampai pada tarafpemberdayaan. Penanganan tunagrahita yang dilaksanakan selama ini berupa pelayanan pendidikan formal melalui TK-LB sampai dengan SMA-LB dan kemudiansetelah tamat atau drop-out diberikanlatihan vokasional. Kemudian setelah selesai pelatihan vokasional mereka dimasukan ke unit latihan kerja, dimana mereka dipersiapkan untuk memasuki lapangan kerja terbuka. Namun sampai saat ini belum ada lembaga/institusi/perusahaan atau organisasi sosial yang mau menerima tenaga tunagrahita sebagai karyawan atau tenaga kerja. Sementara di dalam Undang Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang CacatBAB IV, ps 14secara jelas disebutkan : Perusahaan negara dan swasta memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat dengan mempekerjakan penyandang cacat di perusahaannya sesuai jenis dan drajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya, yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah karyawan dan/atau kualifikasi perusahaan.

Permasalahan sosial tungrahita juga merupakan permasalahansosial bangsa Indonesia yang sangat perlu mendapat perhatian. Masyarakat memegang peran yang sangat besar dalam pemberdayaan tunagrahita, Pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing, melindungi serta menumbuhkan suasana yang baik. Kegiatan masyarakat dengan kegiatan Pemerintah hendaknya saling menunjang, saling mengisi, saling melengkapi demi terciptanya kerjasama sinergis untuk pemberdayaan tunagrahita.

Penanganan tunagrahita diperlukan secara institusional yaitu melembaga, kegiatannya dilaksanakan secara sistimatis, teratur, berkesinambungan dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Salah satu cara memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban dan peran penyandang cacat telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan. Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan penanganan pemberdayaan tunagrahita sudah dirintis baik dari aspek rehabilitasi sosial, vokasional, pendidikan,penempatan tenaga kerja, tansportasi dan pelayanan kesejahteraan sosial. Namun demikian upaya-upaya yang dilaksanakan belum berhasil secara memadai, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penyandang cacat tunagrahita yang telah berhasil memperoleh pekerjaan baik dilingkungan panti maupun dilingkungan maupun selter workshop

Saat ini Panti Sosial Bina Grahita milik Pemerintah di DKI hanya ada satu, sedangkan milik Organisasi sosial ada lima Panti.Oleh karena itu untuk masa mendatang diperlukan penambahan sarana dan upaya untuk memperoleh persamaan dan kesamaan kesempatan agar tunagrahita dapat berfungsi secara sosial sesuai dengan kemampuannya. Artinya, agar tunagrahita dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar dan dapat memberikan kontribusi positif dalam masyarakat. Kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan aspek fisikal. makanan, pakaian, perlindungan, aspek pendidikan, aspek sosial al. rekreasi, dan aspek emotional.

Tunagrahita merupakan salah satu dari masalah sosial dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosialyang tidak terpisahkan dari anggota masyarakat lainnya. Individu yang mengalami tunagrahita sering dipahami oleh masyarakat secara keliru, bahkan para profesional dibidang pendidikanmaupun pekerjaan sosial sering salah memahami tunagrahita. Perilaku tunagrahita sering aneh, diluar kebiasaan manusia pada umumnya, dan perilaku itu sering menjadi bahan ketawaan orang lain dan akhirnya mereka cendrung dianggap sakit jiwa.

Tunagrahita bukanlah sakit jiwa. Kelakuan yang aneh dan dianggap tidak biasa terjadi karena adanya kesulitan untuk menilai sesuatu karena adanya hambatan dalamperkembangan kognitif. Dalam hal ini terdapat kesenjangan yang lebar antara perkembangan kemampuan berpikir (mental age) dengan perkembangan usia (choronological age). Tunagrahita berkaitan langsung dengan perkembangan kognitif yang rendah dan merupakan kondisi yang komplek. Merekamempuynyai intelaktual yang rendah dan memiliki hambatan dalam prilaku adaptif. Sementara sakit jiwa berkaitan dengan disintegrasi kepribadian dan setiap orang mempunyai peluang untuk mengalaminya.

Pelayanan terhadap penyandang cacat tunagrahitasampai saat ini relatif masih terbatas baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta.

Berdasarkan data, di Jakarta Timur, pada tahun 2007 tercatat 5.595 penyandang cacat, di antaranya terdapat sebanyak 1.570 tunagrahita atau 28% dari populasi. Sementara yang ditangani melalui ULAKA Yayasan Asih Budi baru 25 orang, terdiri dari8 pria17 wanita (Robinson Saragih: 2009).

Dalam Deklarasi PBB tahun 1959 tentang ”The right of the Child” dan kemudian dipertegas dalam UU No. 4 tahun 1979 tentang ”Kesejahteraan Anak” ditekankan bahwa keluargaterutama orangtua merupakan tempat utama dan pertama untuk tumbuh dan berkembangnya anak secara wajar. Orangtua merupakan tempat yang utama dan yang pertama dalam memahami keberadaan tunagrahita. Orangtualah yang pertama-tama yang bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani dan sosial. Dalam kaitan dengan penanganan tunagrahita di Yayasan Asih Budi, orangtua mempunyai peranan penting. Oleh karena itu orangtua dibekali dengan pengetahuan tentang bimbingan dan penyuluhan tentang ketunagrahitaan serta peran orang dalam pemberdayaan tunagrahita.

Dalam menunjang kegiatan yayasan dan kelancaran pendidikan anak tunagrahita, dibentuk Pengurus Persatuan Orang Tua. Kegiatan Persatuan Orangtua mengadakan pertemuan sekali sebulan dan kalau dianggap mendesak bisa dilaksanakan setiap saat untuk memperlancar kegiatan yayasan. Melalui pertemuan dapat dilakukan berbagi informasi, saling mendukung dan mempererat hubungan silaturahmi orang tua. Dengan demikian diharapkan seluruh permasalahan yang dihadapi dapat di selesaikan secara musyawarah dan mufakat sesuai kondisi orang tua.

Tulisan ini memang agak panjang dengan informasinya seputar Tunagrahita, yang antara lainbersumber dari tulisan rekan saya Robinson Saragih. Kiranya tulisan ini memberikan tambahan pengetahuan bagi Kompasianer bahwa difabel, khususnya Tunagrahita masih “belum banyak dikenal”, apalagi diperhatikan kebutuhannya. Tidak hanya oleh keluarga dan masyarakat, bahkan pemerintah.

Indonesia Kaya Raya, harusnya memerhatikan masalah, kebutuhan dan setiap hak-hak dari warganya.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun