Mohon tunggu...
Abraham Wirotomo
Abraham Wirotomo Mohon Tunggu... Peneliti -

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Peneliti Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Setelah Vonis Ahok

15 Mei 2017   04:01 Diperbarui: 15 Mei 2017   04:36 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambaran Pesan Persatuan (sumber: adefebri05tkj1.blogspot.com)

Rekan Kompasiana tercinta,

Akhir-akhir ini memang terdapat upaya yang memanfaatkan perbedaan kita untuk kepentingan politik tertentu. Perbedaan yang sebenarnya merupakan kekuatan ingin dijadikan sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan. Upaya jahat ini tidak hanya mengubah kekuatan kita menjadi kelemahan namun mengancam hubungan kita dengan saudara, teman, rekan, dan tetangga yang hidup bersama sekitar kita.

Seorang Gubernur bernama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis dua tahun penjara karena dinilai telah menistakan suatu agama. Vonis ini ditanggapi secara beragam oleh pihak media baik nasional maupun internasional. Secara umum, vonis ini dinilai sebagai ujian besar bagi bangsa Indonesia dalam hal toleransi dan pluralisme. Ahok bisa dinilai telah menistakan agama namun terlalu naif apabila kita memandang tidak ada kepentingan politik yang terkait dengan vonis ini.

Dalam pertarungan politik, bukanlah suatu hal yang tabu untuk menggunakan isu suku, ras, etnis bahkan agama untuk mencapai tujuan politik tertentu. Namun apakah perpolitikan seperti ini yang Anda inginkan? Apakah kita bisa mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera dengan perpolitikan seperti ini?

Perumusan semboyan bangsa adalah salah satu hal pertama yang dilakukan oleh para Bapak bangsa Indonesia (Founding Fathers) ketika mendirikan negara Indonesia. Ada 68 tokoh Indonesia dari berbagai latar belakang dan daerah yang dijuluki sebagai Bapak bangsa, antara lain: Soekarno, Hatta, Yamin, Syahrir, Siauw Giok Tjhan, Sam Ratulangi, dan I Gusti Ktut Pudja. Jawaban yang mereka temukan adalah Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu jua”.

Pada saat itu negara Indonesia terdiri dari ribuan pulau dengan bangsa yang terdiri dari ribuan suku serta beragam etnis, agama, dan berbagai bahasa. Sehingga untuk dapat mengusir penjajah yang memiliki teknologi yang lebih maju, bangsa Indonesia harus bersatu. Untuk mempersatukan bangsa yang beraneka ragam ini, digunakanlah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Pada tahun 1945, semboyan ini berhasil mengubah bangsa yang lemah, kalah modal, kalah teknologi, dan kalah pengetahuan menjadi bangsa yang mampu dan berhasil mengusir penjajah yang lebih kuat.

Ir. Soekarno didampingi Drs. Mohammad Hatta sedang memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia (sumber gambar: Wikipedia)
Ir. Soekarno didampingi Drs. Mohammad Hatta sedang memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia (sumber gambar: Wikipedia)
Selama 72 tahun lamanya, semboyan ini berhasil menjaga kedaulatan bangsa Indonesia. Tetapi semboyan ini menjadi luntur setiap kali bangsa ini bertarung dengan bangsanya sendiri karena isu suku dan agama. Setidaknya terdapat lima konflik SARA yang terjadi belakangan ini: Mei 98, Ambon, Sampit, GAM, dan Sampang. Pertanyaan yang mungkin retoris namun penting kita tanyakan adalah apakah kita diuntungkan dengan adanya konflik SARA? Apakah kita ingin terjadi konflik SARA?

Pada saat para Bapak bangsa Indonesia membentuk negara Indonesia, negara Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, etnis dan agama. Saat ini negara Indonesia masih terdiri dari beragam suku, ras, etnis, dan agama. Jika dulu lawan kita adalah penjajah maka sekarang lawan kita adalah persaingan antar negara dan upaya menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera. Saat ini kita telah terkepung dengan keunggulan bangsa lain. Coba lihat benda dan peralatan yang ada di sekitar Anda saat ini. Berapa persen yang merupakan produksi atau temuan bangsa kita?

Kondisi negara masih serupa dengan dulu, tantangan kita juga masih serupa dengan dulu. Bangsa lain cenderung lebih maju, menang modal, menang pengetahuan, dan menang teknologi. Namun tanpa persatuan maka kita tidak akan bisa mencapai kestabilan politik untuk mendukung keamanan dan perekonomian. Tanpa kondisi aman dan perekonomian yang tumbuh maka kita tidak bisa berkonsentrasi memastikan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas demi mewujudkan sumber daya manusia yang berdaya saing. Tanpa sumber daya manusia yang berdaya saing maka kita akan terus terkepung oleh negara pesaing dan kita akan menjadi bangsa yang bergantung pada bangsa lain.


Ada dua pilihan untuk mewujudkan persatuan, pertama adalah dengan menekan perbedaan dan kedua adalah dengan mengakomodasi perbedaan. Mengakomodasi perbedaan memang bukan suatu hal yang mudah dan selalu menyenangkan namun jika kita makin fokus pada perbedaan maka konflik SARA yang berujung kehancuran. Ini adalah situasi yang terburuk yang kita semua tidak ingin alami. Dua pilihan tersebut sangat disadari oleh para Bapak bangsa Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun