Bahwa itu semua demi mencegah penyebaran wabah virus, saya tahu. Bahwa itu semua demi kebaikan kita bersama, saya juga tahu. Bahwa itu semua bukan soal takut mati, saya pun tahu.
Tapi, pernahkah orang-orang yang menyarankan untuk menjaga jarak fisik dan di rumah saja, atau yang pro dengan anjuran itu (sejauh ini itulah anjuran pemerintah), sejenak saja membalik cara pandang mereka, dari memakai perspektif soal betapa mengerikannya penyebaran virus, ke perspektif orang-orang yang terancam kelaparan kalau tidak pergi meninggalkan rumah?
Barangkali memang pernah, tapi saya tidak yakin orang-orang itu turut larut dalam perasaan yang sama seperti yang dirasakan oleh, misalnya, pedagang sayur keliling, pengumpul rongsokan, tukang bakso tusuk, tukang cilok, tukang becak, karyawan yang terkena PHK, dan banyak lagi. Sungguh, saya tidak yakin.
Ketidakyakinan saya itu terverifikasi, salah satunya ketika saya melihat orang-orang lupa (atau tak sadar) bahwa mereka masih tetap bisa hidup (dan bahagia) berkat petani, pedagang sembako, tukang antar, penjaga jaringan internet, dan banyak lagi.
Sekali lagi, kita telah dan sedang sama-sama menyaksikan, hal-hal yang selama ini tersembunyi, tersingkap satu per satu semenjak wabah virus muncul. Ketakutan akan kematian telah mengorbitkan keserakahan, kelicikan, dan rupa-rupa lain dari egoisme. Di saat yang sama, empati dan belas kasih terus menguap.
Di Bandung, seorang perempuan yang pingsan karena kelelahan, tidak ada yang mau menolongnya karena dia dianggap terinfeksi virus Corona. Seorang perantau dari Jakarta yang pulang setelah di-PHK diusir oleh keluarganya sesampainya di rumah karena dianggap terserang Corona. Seorang penderita epilepsi yang kejang-kejang, juga tak ada yang mau menolong karena dikira orang dia tertular COVID-19.
Pada baner atau kain-kain spanduk yang dibentangkan untuk memblokir (baca: lock down) jalan atau gang-gang lingkungan RT/RW, tak terkecuali di padukuhan-padukuhan di kampung, tidak sedikit saya temui kata-kata yang tak semestinya dituliskan. Kalimat seperti "jangan ngeyel", masih ditambahi pula dengan "nganggo ndasmu!" (pakai otakmu) dan macam-macam.
Di tengah-tengah situasi yang kacau ini, dari televisi tabung 14 inci milik bapak kos yang saya nyalakan keras-keras selagi saya merebus mi instan, tersimak oleh saya kabar bahwa Wakil Presiden RI mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera mengeluarkan faktwa haram mudik. Gubernur Jawa Barat termasuk salah satu pejabat yang mendukung dikeluarkannya fatwa tersebut. Kabar ini menyusul rencana pemerintah untuk menggeser libur mudik Lebaran ke akhir tahun.
Saya tidak terlalu mengikuti perkembangannya seperti apa namun yang pasti, kabar tersebut mengobok-obok perasaan saya, dan juga barangkali ribuan perantau lain di seluruh penjuru tanah air. Bagi kebanyakan perantau, saya kira persoalannya bukan karena tak kuat menahan rindu atau keinginan (keegoisan) untuk bertemu keluarga di kampung, melainkan karena tak punya uang lagi untuk bertahan di perantauan, terutama mereka yang tadinya bekerja di sektor formal dan baru terkena PHK.
Saya sendiri, misalnya, yang bekerja sebagai editor di sebuah penerbit indie di Jogja, tidak punya penghasilan tetap/rutin bulanan. Saya hanya mampu bertahan hidup dari remah-remah upah mengedit naskah yang tak selalu ada saban bulan. Sebagian saya sisihkan untuk membayar indekos, dan sebagian lagi untuk makan. Ini terpaksa saya ungkapkan di sini untuk menerangkan persoalan di atas.
Dua bulan terakhir saya telah mencoba mencari pekerjaan serabutan dengan menghilangkan gengsi saya, namun hasilnya nihil. Tak perlulah saya sebutkan pekerjaan apa saja yang telah saya upayakan untuk saya dapatkan. Yang jelas, upaya itu semakin berat dalam masa wabah ini karena alasan yang orang-orang sudah pada tahu.
Barangkali keadaan saya belum teramat memprihatinkan. Barangkali saya harus lebih kuat lagi bertahan tanpa penghasilan sama sekali. Mungkin bertahan hidup tanpa ngekos. Mengembara seperti bohemian jika tak lagi memungkinkan untuk menumpang sana menumpang sini. Makan apa yang ada di alam sehingga tak harus membeli, minum air sungai, dan sebagainya.
Ya, saya mau saja seperti itu, tapi sayangnya, risiko dianggap maling dan dipukuli massa mengancam dari segala arah. Sekarang, apa-apa sudah ada yang punya, termasuk pohon-pohon yang tumbuh liar di semak-semak hutan. Apakah saya harus nekat mencuri?
Setelah menjual ponsel, uang yang saya siapkan untuk ongkos pulang ke kampung (jumlahnya tak sampai Rp 1 juta) barangkali bisa saya gunakan untuk bertahan lebih lama lagi di perantauan. Berikutnya saya mungkin akan menjual laptop saya. Mungkin saya akan keluar dari indekos, menitipkan pakaian saya dan hanya membawa dua-tiga potong dan mengembara. Baiklah, saran ini akan coba saya jalani.
Persoalannya, siapa yang bisa memastikan kapan wabah ini berakhir? Apakah wabah ini akan berakhir sebelum uang saya habis--atau katakanlah, sebelum saya mendapatkan penghasilan/pekerjaan yang lebih memadai? Bagaimana dengan ribuan perantau lain di luar sana?
Belum lagi kalau kita mau bicara soal pengharaman mudik itu sendiri. Bagaimana fikihnya? Di kalangan ulama saja, saya dengar banyak yang tidak sepakat karena pengharaman itu dianggap tidak adil karena tidak semua perantau terjangkit COVID-19 maupun membawa virusnya. Tetapi, saya tidak akan membahas soal itu di sini karena itu bukan ranah saya.
Remah-Remah Empati
Kekacauan masih terus berlangsung dan kita tahu bahwa pemerintah enggan menetapkan kebijakan lockdown secara nasional dan malah menerapkan darurat sipil (karena konon pemerintah tak sanggup (atau tak mau?) memberi makan rakyatnya). Â Â
Dalam keadaan kacau seperti ini, saya kira wajar jika ada sebagian rakyat yang mengungkapkan kekecewaannya (melayangkan kritik dan sebagainya) terhadap pemerintah terutama terkait penanganan wabah. Bagi mereka, terutama mereka yang miskin dan lemah, mereka yang paling merasakan dampak pahit dari wabah, mereka yang tak bisa menyimpan persediaan makanan di kulkas, mengkritik pemerintah adalah kemewahan.
Sayangnya, kemewahan yang tersisa itu pun masih juga "dibungkam" oleh orang-orang bijaksana yang konon hidupnya mapan--jika bukan kaya--dengan kalimat-kalimat seperti "jangan nyinyir", "tak usah kebanyakan cocot", "lebih baik diam kalau tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu pemerintah mengatasi wabah", dan sejenisnya. Pembungkaman itu kini menggenapi ancaman pidana yang dibuat oleh pemerintah.
Pertanyaannya: setelah diharamkan mudik, tak boleh mengkritik, tak disantuni, tak boleh sembarang mengambil apa yang ada di alam, lalu dengan apa perantau dan rakyat jelata, bertahan hidup? Tak adakah lagi remah-remah empati yang tersisa? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H