Kalau saya ditanya tentang satu pernyataan perihal Jogja yang pasti akan saya benarkan, itu adalah "Jogja serba murah itu mitos yang harus segera dibuang jauh-jauh". Apa ada pernyataan seperti itu? Ada, saya sendiri yang membuatnya.
Ini adalah pandangan saya sebagai perantau yang telah tiga tahun lebih tinggal di Jogja. Saya tahu saya bukan orang pertama yang dongkol terhadap ketidakpantasan harga-harga di Jogja (Jogja di sini bukan hanya merujuk ke Kota Jogja, tetapi juga sebagian besar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Sleman, Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul). Baik perantau apalagi warga asli, sudah banyak yang sering mengeluh soal ini.
Tulisan dan perbincangan yang membahasnya pun sudah banyak. Di sini saya cuma menyampaikan sesuatu yang lebih spesifik saja, yaitu harga buah, sesuai pengalaman saya.
Tidak semua buah, tentu saja, tetapi kebanyakan. Yang paling disayangkan adalah harga yang tidak pantas itu bukan harga buah impor yang memang tidak/jarang ditemukan di sini (seperti apel merah, kiwi, pir, prem, dan lain sebagainya), melainkan harga buah-buahan tropis yang tumbuh di mana-mana, seperti pisang kepok, nangka, cempedak, alpukat, dan durian.
Buah-buahan tropis yang saya sebutkan di atas bukan saya hadirkan sebagai contoh belaka, tetapi memang merekalah persisnya buah-buahan yang saya maksud, yang harganya sesat menurut saya.
Kata "sesat" di sini saya pakai untuk menggantikan frasa "tak masuk akal", merujuk kepada besaran UMR di wilayah Jogja. Bukankah UMR di suatu daerah ditetapkan berdasarkan survei harga-harga kebutuhan di pasar?
Saya tahu bahwa pada praktiknya memang tak selalu demikian, tapi biarkanlah saya naif dalam hal ini. Bisa jadi, survei komponen standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan Dewan Pengupahan di Jogja keliru.
Sekarang mari kita bahas satu per satu. Pertama, pisang kepok. Harga rata-rata satu sisir pisang kepok di Jogja, baik di perkotaan maupun di wilayah yang tergolong desa, yakni Rp 20-35 ribu per sisir tergantung ukuran. Kalau ukurannya kecil dan tipis, bisa Rp 15-13 ribu, tapi itu sangat jarang.
Di beberapa warung atau toko, diberlakukan harga sesuai berat, rata-rata Rp 20-30 ribu per kilogram. Di supermarket seperti Superindo atau Mirota bisa lebih mahal lagi.
Bagi saya yang berasal dari Sumatera Utara, harga tersebut jelas sesat. Di Kota Medan saja, contohnya, dengan UMR dua kali lipat dari UMR Jogja (sekitar Rp 3,2 juta), harga pisang kepok sekarang paling mahal Rp 15 ribu per sisir, dan itu sudah termasuk ukuran yang besar. Rata-rata malah cuma Rp 7-10 ribu per sisir.
Kalau berdasarkan berat?
Saya kurang tahu karena di Sumatera jarang penjual pakai hitungan berat dalam menentukan harga, karena akan terkesan pelit (baca: perhitungan banget) dan tidak ramah bagi orang-orang di sana.
Selanjutnya, nangka. Saya selalu teringat penjual nangka di kampung saya, Deliserdang, setiap kali hendak membeli nangka di Jogja.
Di kampung saya, nangka dijual dengan ditusuk pakai lidi, berisi tiga sampai lima nangka (disesuaikan dengan ukuran).
Tentu saja di sini yang saya bicarakan adalah nangka yang kreyes teksturnya, bukan nangka lembek yang banyak tumbuh liar.Â
Harganya? Dulu semasa saya SMA (sampai tahun 2006) cuma Rp 2.000. Sekarang kabarnya sudah naik jadi Rp 4.000. Lima nangka, kalau di Jogja, saya harus membayar Rp 10-15 ribu untuk mendapatkannya.
Pengalaman itu membuat saya kapok membeli cempedak di Jogja. Sepengin apapun tetap saya tanggung. Adaptasi hidup ala orang Jogja kebanyakan yang biasa makan seadanya selama tiga tahun, membuat saya kuat menahan keinginan makan ini-itu, apalagi kalau cuma menahan godaan cempedak.Â
Ketika kemudian saya mengetahui ibu teman saya yang asli orang Jogja belum pernah makan cempedak hingga usianya menginjak 44 tahun, saya tak perlu merasa heran dan kasihan, walaupun padahal cempedak adalah buah endemik yang tak jauh dari rumahnya, ada warga yang punya pohonnya.
Padahal buah ini tumbuh di mana-mana; bukan dikirim dari kota lain, apalagi diimpor dari negara lain. Bahkan ia nyaris tak memerlukan perawatan. Satu pohon buahnya bisa mencapai 300-500. Kalau yang pohonnya besar, bisa sampai 1.000.
Namun begitulah kenyataannya di Jogja. Sementara di kampung saya, alpukat rata-rata dijual Rp 10-20 ribu.
Semurah-murahnya Rp 25 ribu untuk ukuran kecil sekalipun sedang musim. Durian-durian di Jogja mengajarkan saya mengenali watak manusianya, lewat tali rafia yang mengikat (baca: mengamankan) mereka agar tak sampai jatuh ke tanah.
Jakarta Sebagai Pusat Distribusi adalah Biangnya
Kenapa saya menyebut ini sebagai lingkaran setan? Ini adalah pertanyaan soal kompleksitas yang membuat harga-harga buah tropis di Jogja menjadi tak masuk akal.
Saya menduga, lingkaran setan itu terbentuk karena kiblat pasar utama di Jawa adalah Jakarta. Saya tekankan ini hanya hipotesa saya sebagai penggemar buah-buahan tropis.
Harapan saya tulisan ini dibaca oleh orang yang memang paham ekonomi pasar di Jawa dan ada tanggapan untuk meluruskan hipotesa saya jika keliru.
Inilah hulu kesesatan itu. Giliran berikutnya, pemasok yang tak berniat mengirim komoditasnya ke Jakarta pun akan mengekor harga yang sudah berlaku.
Maka tak perlu heran lagi kalau olahan buah-buahan mahal tadi pun ikut mahal harganya. Pisang kepok goreng, misalnya, di Jogja rata-rata Rp 2.000 per buah.
Sementara di kampung saya, rata-rata Rp 1.000 per buah, bahkan masih ada yang Rp 2.000 per tiga buah. Tak percaya? Main-mainlah ke kampung saya, atau ke Kota Medan.
Lingkaran setan ini sebenarnya bukan cuma ada pada harga buah. Pada harga-harga komoditas yang lain pun juga sama, yang mana frasa "lingkaran setan" itu berlaku bila mengacu pada besaran UMR di Jogja. Contohnya pada harga sembako seperti telur, ikan, dan masih banyak lagi.
Tentunya, lingkaran setan ini akan terasa bila kalian menetap di Jogja tanpa penghasilan yang memadai. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H