Namun begitulah kenyataannya di Jogja. Sementara di kampung saya, alpukat rata-rata dijual Rp 10-20 ribu.
Semurah-murahnya Rp 25 ribu untuk ukuran kecil sekalipun sedang musim. Durian-durian di Jogja mengajarkan saya mengenali watak manusianya, lewat tali rafia yang mengikat (baca: mengamankan) mereka agar tak sampai jatuh ke tanah.
Jakarta Sebagai Pusat Distribusi adalah Biangnya
Kenapa saya menyebut ini sebagai lingkaran setan? Ini adalah pertanyaan soal kompleksitas yang membuat harga-harga buah tropis di Jogja menjadi tak masuk akal.
Saya menduga, lingkaran setan itu terbentuk karena kiblat pasar utama di Jawa adalah Jakarta. Saya tekankan ini hanya hipotesa saya sebagai penggemar buah-buahan tropis.
Harapan saya tulisan ini dibaca oleh orang yang memang paham ekonomi pasar di Jawa dan ada tanggapan untuk meluruskan hipotesa saya jika keliru.
Inilah hulu kesesatan itu. Giliran berikutnya, pemasok yang tak berniat mengirim komoditasnya ke Jakarta pun akan mengekor harga yang sudah berlaku.
Maka tak perlu heran lagi kalau olahan buah-buahan mahal tadi pun ikut mahal harganya. Pisang kepok goreng, misalnya, di Jogja rata-rata Rp 2.000 per buah.
Sementara di kampung saya, rata-rata Rp 1.000 per buah, bahkan masih ada yang Rp 2.000 per tiga buah. Tak percaya? Main-mainlah ke kampung saya, atau ke Kota Medan.