Saya kurang tahu karena di Sumatera jarang penjual pakai hitungan berat dalam menentukan harga, karena akan terkesan pelit (baca: perhitungan banget) dan tidak ramah bagi orang-orang di sana.
Selanjutnya, nangka. Saya selalu teringat penjual nangka di kampung saya, Deliserdang, setiap kali hendak membeli nangka di Jogja.
Di kampung saya, nangka dijual dengan ditusuk pakai lidi, berisi tiga sampai lima nangka (disesuaikan dengan ukuran).
Tentu saja di sini yang saya bicarakan adalah nangka yang kreyes teksturnya, bukan nangka lembek yang banyak tumbuh liar.Â
Harganya? Dulu semasa saya SMA (sampai tahun 2006) cuma Rp 2.000. Sekarang kabarnya sudah naik jadi Rp 4.000. Lima nangka, kalau di Jogja, saya harus membayar Rp 10-15 ribu untuk mendapatkannya.
Pengalaman itu membuat saya kapok membeli cempedak di Jogja. Sepengin apapun tetap saya tanggung. Adaptasi hidup ala orang Jogja kebanyakan yang biasa makan seadanya selama tiga tahun, membuat saya kuat menahan keinginan makan ini-itu, apalagi kalau cuma menahan godaan cempedak.Â
Ketika kemudian saya mengetahui ibu teman saya yang asli orang Jogja belum pernah makan cempedak hingga usianya menginjak 44 tahun, saya tak perlu merasa heran dan kasihan, walaupun padahal cempedak adalah buah endemik yang tak jauh dari rumahnya, ada warga yang punya pohonnya.
Padahal buah ini tumbuh di mana-mana; bukan dikirim dari kota lain, apalagi diimpor dari negara lain. Bahkan ia nyaris tak memerlukan perawatan. Satu pohon buahnya bisa mencapai 300-500. Kalau yang pohonnya besar, bisa sampai 1.000.