Prediksi sejumlah ilmuwan dan sejarawan bahwa pada abad 21 umat manusia akan melupakan agama ataupun Tuhan, tampaknya benar-benar keliru. Pada sekian banyak keberingasan yang kita saksikan beberapa waktu belakangan di beberapa belahan bumi, agama justru tampil sebagai akar penyebabnya.
Kita sebut saja tiga: percekcokan yang seperti tiada ujung antara pendukung Jokowi dan Prabowo, teror penembakan di dua masjid di Kota Christchurch di Selandia Baru, dan penghakiman sesat terhadap jemaah Thoriqoh Musa di Ponorogo.
Ini bukti bahwa agama--setidaknya untuk sekarang dan beberapa tahun ke depan--masih belum akan ke mana-mana. Agama masih lestari, masih terawat dengan subur, dan--secara historis--cara orang-orang kebanyakan dalam mengimaninya juga masih tetap sama: kaku dan gemar menghakimi.
Persoalan yang berakar pada agama tidak hanya berhenti pada masing-masing klaim kebenaran di antara suatu keyakinan dengan keyakinan lain, tetapi juga pada persoalan-persoalan yang lebih universal, semisal menyangkut Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).Â
Implikasi dari cara beragama yang saklek membuat seseorang menjadi garang. Begitu melihat sesuatu yang dilarang dalam ajaran agamanya, orang itu merasa harus bertindak. Sedihnya, tindakan yang diambil justru lebih sering berupa tindakan menghukum, alih-alih mengasihani.
Belum lagi berhenti geleng-geleng kepala melihat tindakan rektorat Universitas Sumatera Utara (USU) yang memberhentikan jajaran redaksi pers mahasiswanya hanya karena menayangkan cerpen yang mengandung konten LGBT, kita malah sudah membaca kabar bahwa Brunei Darussalam akan memberlakukan hukuman cambuk dan rajam hingga mati bagi warganya yang terlibat hubungan LGBT.Â
Seperti diwartakan ABC News, hukuman itu akan diberlakukan mulai 3 April 2019. Brunei akan menjadi negara pertama di Asia yang menerapkan hukuman mati bagi homoseksual.
Yang menyesakkan, kabar tersebut disambut dengan gegap gempita oleh banyak orang di Indonesia, dan mereka berharap hukuman serupa dapat diberlakukan di negara ini. Singkat kata, terhadap LGBT, kebanyakan orang merasa jijik dan benci, dan sebagian bahkan ingin membasmi mereka layaknya membasmi nyamuk.
Saya, dan mungkin juga Anda, punya beberapa teman yang bisa digolongkan sebagai LGBT. Sebagian dari mereka saya tahu sudah menunjukkan tanda-tanda sejak kanak-kanak. Mereka berjenis kelamin laki-laki, tapi perangai dan tingkah lakunya persis anak perempuan.Â
Mereka, dalam bahasa umum yang sering kita pakai, bencong. Satu-dua orang dari mereka, ketika beranjak dewasa, pelan-pelan berubah. Mereka tumbuh menjadi laki-laki normal dalam pengertian umum; jatuh cinta pada perempuan, menikah, dan punya anak.Â
Namun, sebagian lainnya tetap tinggal sebagaimana mereka sejak kecil. Mereka tak pernah merasakan kesukaan atau hasrat seksual pada perempuan, dan sebaliknya, mereka menyukai laki-laki.