Saya sadar, LGBT selama ini memang selalu dihakimi atas dasar moral dan agama. Karena itu saya tak akan mengajukan argumentasi dari sudut pandang ilmiah manapun. Saya juga tak akan menyodorkan perihal HAM sebagai bahan argumentasi. Sebaliknya, saya justru ingin mengajukan pendapat di jalur yang sama, yakni dari sudut pandang religiositas.
Katakanlah bahwa LGBT memang betul-betul penyakit atau kelainan dan diharamkan oleh agama, lantas apakah menghardik, menghakimi, atau menyiksa, adalah cara yang tepat dan benar untuk menyembuhkan mereka? Terhadap orang yang sedang sakit, bukankah kita semestinya kasihan?
Perlu saya tekankan, saya tak bermaksud mengajukan pembelaan maupun pembenaran terhadap LGBT. Dari sudut pandang maupun keyakinan yang paling primordial, tentu saja laki-laki memang harus berpasangan dengan perempuan. Bukan laki-laki dengan laki-laki, ataupun bukan perempuan dengan perempuan. Saya pribadi juga berada dalam keyakinan ini.
Tapi, LGBT bagaimanapun adalah misteri Ilahi. Tentu saja 'Ilahi' yang saya maksud di sini berada di luar koridor keyakinan keagamaan kita; yakni sifat Tuhan sebagai Yang Maha Tahu, Tuhan yang sudah ada sebelum agama ada.
Lagipula, jika pun LGBT semata-mata memang harus dipandang dengan kaca mata agama, bukankah penolakan terhadapnya akan lebih manusiawi dan "religius"--dan karenanya lebih "ilahiah"--jika tidak sampai pada tindakan kekerasan, apalagi kesadisan seperti yang hendak dilakukan Brunei Darussalam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H