(Catatan untuk Hari Pers Nasional)
Belum lama ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menetapkan besaran upah layak jurnalis pemula di Jakarta tahun 2019 sebesar Rp 8,42 juta per bulan. Angka tersebut dua kali lipat lebih besar dibanding UMP Jakarta 2019 Rp 3,94 juta.
Besaran gaji yang menggoda itu ditetapkan AJI berdasarkan hasil survei yang mereka lakukan terhadap wartawan pemula dengan masa kerja di perusahaan antara 1-3 tahun. Survei tersebut dilakukan selama November-Desember 2018, melibatkan 87 responden.
Dalam survei tersebut, ada 40 komponen kebutuhan hidup layak berdasarkan lima kategori ditambah alokasi tabungan sebesar 10 persen yang dikaji. Kategori yang dimaksud adalah makanan, tempat tinggal, sandang, kebutuhan penunjang, dan kebutuhan lain seperti paket data internet, transportasi, dan perangkat komunikasi.
Selain itu, AJI juga memasukkan kebutuhan tersier bagi jurnalis, seperti bahan bacaan dan langganan koran atau majalah. (terus terang, untuk kebutuhan yang disebut terakhir ini saya ragu, apakah wartawan benar-benar mau baca koran, apalagi buku untuk memperbaiki kualitasnya. Sepengalaman saya, jarang wartawan yang seperti itu).
Alih-alih bahagia karena mendapatkan dukungan, sebagai jurnalis saya justru ingin menangis mendengar apa yang disampaikan AJI. Bukannya tak senang, tetapi besaran upah segitu rasanya kelewat muluk-muluk.
Apa mungkin perusahaan media mau membayar upah sebesar itu, apalagi untuk jurnalis pemula? Pada kenyataannya, gaji rata-rata wartawan, baik itu pemula maupun yang bangkotan, justru masih banyak yang pas-pasan. Kalau kata Pak Prabowo, tidak sampai membuat wartawan sanggup belanja ke mal. Paling banter sedikit lebih banyak di atas UMP.
Di Jakarta, misalnya, dari survei kecil-kecilan yang saya lakukan, gaji rata-rata wartawan, termasuk yang bekerja di bawah perusahaan media ternama alias kapitalis besar, hanya berada di kisaran Rp 4 sampai 6 juta.
Yang lucunya, apa yang disampaikan AJI ini malah diberitakan oleh mereka. Entah dengan maksud menyindir AJI yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi, atau justru urat malu mereka sendiri memang sudah putus.
Jangankan wartawan yang bertugas di lapangan, wartawan yang sudah diangkat menjadi redaktur saja pun, yang secara struktural di perusahaan berada satu tingkat di atas wartawan pemula, masih banyak gajinya yang tidak mencapai Rp 8,42 juta.
Dalam hal ini, Harian Kompas boleh berbangga karena menjadi satu-satunya media nasional yang sanggup dan mau membayar upah wartawannya sesuai--bahkan melebihi--besaran yang ditetapkan AJI.