Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Upah Layak dan Standar Ganda Wartawan Hebat

9 Februari 2019   10:39 Diperbarui: 9 Februari 2019   18:12 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkara besaran upah layak jurnalis ini memang sudah menjadi pembahasan yang klise sebenarnya, karena selalu diulang-ulang saban tahun tanpa pernah mencapai ekspektasi yang dilambungkan. Tak cuma di awal tahun, saat momentum Hari Buruh dan Hari Pers Nasional pun, gaji wartawan juga kerap disinggung. Tapi hasilnya sia-sia belaka.

Karena itu, saya memang tak berniat dan tak berminat memperdebatkan besaran upah yang layak bagi jurnalis. Layak atau tidak, saya kira bisa dipulangkan kepada jurnalisnya masing-masing. Di sini saya sekadar ingin bercerita tentang dampak yang timbul akibat korporat-korporat media itu tidak (mau) mendengar jeritan para wartawan soal besaran gaji, sebagaimana yang diwakili oleh AJI.

Dampak yang saya maksud adalah: kemunculan standar ganda dalam perkara kehebatan seorang wartawan.

Standar hebat yang pertama sudah jelas, yakni kemampuan menghasilkan reportase yang jernih dan mendalam, yang tidak tendensius atau memihak siapapun, yang peka terhadap seluruh detail dari apa yang ia liput dengan memaksimalkan semua indera, dan (jika bisa) meramunya dengan tulisan yang mengalir dan sedap dibaca (cenderung nyastra). Wartawan hebat jenis ini biasanya banyak bekerja di bawah naungan media-media besar dan bertugas pula di kota-kota besar.

Lalu, standar hebat yang kedua adalah kemampuan "mengolah" bahan berita dan narasumber yang bersangkutan menjadi sumber penghasilan alias "ATM berjalan", plus kemampuan memaksimalkan status wartawan untuk berbagai keperluan (semacam mendapatkan status warga negara kelas satu), seperti membebaskan diri dari tilang, nonton konser gratis, dilayani dengan sangat baik ketika berobat di rumah sakit sekalipun dengan kartu BPJS, dan masih banyak lagi.

Perusahaan-perusahaan media bukannya tak tahu soal ini. Tapi, mereka tutup mata. Sebab, yang paling penting bagi mereka adalah (buruh) wartawan yang mereka perkerjakan bisa menghasilkan berita yang "bernilai jual" tinggi, dan sebanyak-banyaknya, sembari manut diberi upah rendah.

Itulah mengapa, meskipun selalu mencantumkan maklumat "wartawan kami selalu dibekali identitas pengenal dan tidak diizinkan menerima atau meminta apapun dari narasumber", nyatanya banyak wartawan media-media itu yang melanggar. Kenapa begitu? Ya karena gaji mereka memang rendah, jika tidak boleh menyebut tidak layak. 

Lagi pula, maklumat itu sebenarnya juga masih ada kelanjutannya, yakni "Kecuali tanpa sepengetahuan kami", atau "Kecuali kalau Bapak/Ibu langsung memberikannya kepada kami sebagai atasan, bukan kepada mereka (wartawan)".

Begitulah sedikit cerita yang ingin saya sampaikan, sebagai satu contoh akibat perusahaan-perusahaan media kita masih memperlakukan wartawan sebatas sebagai buruh.

Saya tahu, tidak seharusnya saya menuliskan cerita pilu seperti ini karena hari ini, 9 Februari, kita merayakan Hari Pers Nasional. Tapi apa lacur, ini tetap perlu saya sampaikan, setidaknya agar tidak ada lagi yang mimpi di siang bolong seperti AJI.

Sumber foto: milik pribadi
Sumber foto: milik pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun