Tercatat, dua kali Prabowo mengatakan 'berjuang buat kalian (wartawan)' dan dua kali pula ia mengucapkan 'tidak bisa belanja di mal'. Repetisi itu seakan hendak menegaskan bahwa profesi wartawan, di mata Prabowo, sungguh-sungguh memprihatinkan.
Kedua, jika ucapan tersebut tidak dimaksudkan Prabowo sebagai olok-olok terhadap wartawan, masih ada kemungkinan makna yang lain, yakni makna yang lebih dekat relasinya dengan politik. Artinya, Prabowo mencoba berspekulasi dengan maksud "merangkul" wartawan. Dikatakan berspekulasi, karena Prabowo pastilah sadar akan ada kelompok yang tidak bersepakat dengan ucapannya. Namun di saat yang sama, dengan sama yakinnya, ia juga sadar, bahwa akan ada (bahkan mungkin banyak) kalangan yang setuju dengannya.
Artinya di sini, para wartawan, terutama yang berkesempatan meliput/berinteraksi dengan Prabowo di lain kesempatan, yang sepakat dengan ucapannya itu, perlu untuk selalu sadar akan setiap kemungkinan manuver politik yang dilakukannya. Jika selama ini politisi selalu menggemakan isu kesejahteraan rakyat dalam setiap kampanyenya, yang kemudian di belakang hari sering tidak terealisasi, maka begitu pulalah kiranya wartawan perlu mawas diri.
Jangan sampai, janji akan memperjuangkan kesejahteraan profesi itu membuat wartawan terbuai dan terkecoh. Meski tentu saja, kemungkinan atau harapan bahwa Prabowo sungguh-sungguh tulus dan bertekad mewujudkan ucapannya itu, tetap perlu diberi tempat.
Ketiga, kembali lagi ke soal pro dan kontra ucapan Prabowo. Jika disimak dari sudut pandang kehidupan jurnalistik, agaknya ucapan Prabowo tersebut tidak bisa disangkal. Apa yang diceploskan Prabowo, sejauh pengetahuan dan pengalaman saya, terbukti memang demikian adanya. Setidaknya, mayoritas wartawan, terutama yang memegang teguh prinsip idealisme dalam hatinya, atau mereka yang bernaung di bawah media yang keuangannya tersengal-sengal, akan sulit terbebas dari jurang kesusahan (untuk tidak mengatakannya sebagai kemiskinan).
Belum lagi fakta-fakta bahwa banyak wartawan yang digaji di bawah standar upah minimum regional (UMR) atau upah minimum kota/kabupaten (UMK). Ada yang gajinya lebih sedikit dari penjaga toko, ada yang lebih sedikit dari petugas pembersih toilet, bahkan ada pula yang tak bergaji sama sekali. Itu semua semakin menempatkan ucapan Prabowo itu pada posisi yang tak terbantahkan.
Citra wartawan yang memprihatinkan itu, masih diperparah lagi dengan kenyataan bahwa banyak wartawan yang--karena faktor ekonomi--mencari nafkah dengan jalan "menakut-nakuti" atau dalam bahasa Medan "nanduk sana-sini"; seraya mengantongi korannya yang dicetak hanya 5-10 eksemplar saban seminggu sekali.
Boleh dikatakan, Prabowo adalah representasi masyarakat umum dalam memandang wartawan. Maka dari itu, kiranya ucapannya yang nyelekit itu cukup dipetik bagian positifnya. Tidak perlulah marah atau tersinggung, karena memang demikian faktanya. Soal apakah itu dilatarbelakangi sinisme atau bukan, itu perkara lain.
Terpenting, dan semoga saja, ucapan Prabowo yang menghebohkan itu, dapat menjadi titik tolak revolusi jurnalistik di negara ini. Revolusi yang dimaksud adalah, bahwa tak sembarangan bisa mendirikan media, tak sembarangan pula menjadi wartawan, dan haruslah pula wartawan dibayar mahal. (***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H