Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

7 Kekurangan Yogyakarta yang Bakal Membuat Pengunjung Kecewa

10 Juni 2017   22:04 Diperbarui: 11 Juni 2017   07:37 8015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Terkhusus untuk warga asli Jogja dan Sultan Hamengkubuwono X. Semoga didengar)

Siapa yang tak kenal dengan Yogyakarta. Sebagaimana namanya (Daerah Istimewa Yogyakarta), Yogyakarta istimewa karena ada kerajaan di dalamnya --monarki di dalam negara republik, Indonesia. Secara garis besar, dua hal yang membuat Yogyakarta terasa istimewa adalah pariwisata dan institusi pendidikannya. Itulah kenapa Yogyakarta --atau yang lazim diucap dengan 'Jogja' saja-- sering disebut sebagai kota pelajar dan kota wisata.

Sebagai kota pelajar, di Jogja terdapat banyak perguruan tinggi yang menelurkan banyak tokoh. Atmosfer akademik tak dipungkiri memang terasa di hampir setiap sudut wilayah. Sementara sebagai kota wisata, Jogja seakan tak pernah sepi pengunjung. Indikator sederhananya dapat dilihat dari kerumunan orang di Jalan Malioboro. Setiap hari, jalan yang sering berbau kencing kuda itu tak pernah sepi. Menurut data di Dinas Pariwisata DIY, pada tahun 2015, jumlah wisatawan (baik dari dalam negeri maupun luar negeri) yang berkunjung ke Jogja mencapai 19 juta orang (Harian Jogja; Kunjungan Wisatawan DIY Tembus 21 Juta). Angka tersebut diperkirakan akan terus mengalami kenaikan tiap tahunnya.

Namun, entah hanya akhir-akhir ini saja, atau memang sudah lama tapi selama ini tak pernah diekspos/terekspos, Yogyakarta juga memiliki banyak kecacatan. Kecacatan-kecacatan itu, jika terus dibiarkan, lama kelamaan akan membuat keistimewaan Jogja sirna. Berikut rangkuman 7 hal yang berpotensi membuat pendatang/pengunjung kecewa setelah datang ke Jogja.

1. Minimnya Altruisme atau Tenggang Rasa Pengendara di Jalan

Di jalanan di Jogja, jangan heran kalau Anda sulit untuk menyeberang jalan, berputar arah (U-turn), atau sekadar masuk ke ruas jalan setelah sebelumnya parkir di tepi jalan. Para pengendara di Jogja mayoritas melaju dengan konstan (kaku) tanpa mempertimbangkan atau mempedulikan atau bersikap altruis terhadap orang-orang lain yang berada di jalan. Mata mereka hanya fokus pada laju mereka. Rata-rata tidak ada kelenturan/fleksibilitas dari mereka dalam berkendara.

Beberapa kali saya mencoba membincangkan hal ini dengan orang-orang penduduk asli Jogja. Menurut mereka, para pengendara yang demikian itu bukan orang asli Jogja. Mereka pendatang. Tetapi apakah seluruhnya di jalan itu pendatang? Saya mencoba menyanggah. Orang-orang asli Jogja yang saya tanyai tak bisa menjawab. Mereka akhirnya tak memungkiri bahwa pengaruh pendatang "sukses" mengubah watak mereka, termasuk dalam hal berkendara.

2. Keramah-tamahan yang Mulai Langka

Orang Jawa itu ramah-ramah; apalagi orang Jawa yang di Jogja. Sudah ramah, lembut lagi. Begitulah kisah-kisah yang dituturkan banyak orang. Kisah-kisah itu agaknya perlu dikoreksi, atau, ya, setidaknya di-update (diperbaharui). Saya tegaskan di sini, saya bukan anti-Jawa. Saya sendiri orang Jawa. Hanya saja saya lahir di Sumatera. Keramahtamahan itu memang masih mudah ditemui dari para orang-orang tua. Tetapi jangan harap hal serupa dapat ditemui pada mereka yang muda-muda atau setengah baya sekalipun. Memudarnya keramahtamahan itu turut disertai pula dengan menguatnya sikap acuh tak acuh, terutama pada mereka yang berpendidikan tinggi. Ini mungkin masih bisa disanggah dengan alasan klasik yang tadi: "Itu bukan orang asli Jogja". Ya, baiklah. Tetapi jangan lupa, di antara mereka yang seperti itu, tidak bisa disanggah bahwa banyak juga anak-anak asli Jogja.  

3. Sikap Fair yang Jatuh Menyerupai Pelit

Di Jogja, ketika kita membeli sesuatu, kembalian Rp 100 pun pasti akan dikembalikan --sesuatu yang tak akan ditemui di kota-kota besar seperti Medan. Harus diakui, orang-orang di Jogja memang fair. Saya tidak menggunakan kata adil di sini karena saya agak sanksi mengalihbahasakan kata fair menjadi adil. Sebab keduanya memang tidak presisi sepenuhnya. Saya harap pembaca mengerti. Tetapi watak fairitu, pada bentuk/wujudnya yang lain, menjadi semacam sifat kikir/pelit. Satu contoh, misalnya, membeli telur akan ditimbang, bukan dihitung harganya per butir seperti di kota-kota lain. Ini agak sulit diterangkan lebih jauh, memang, kecuali Anda tinggal di Jogja untuk waktu yang cukup lama.

4. Serba Murah yang Hanya Dongeng Belaka

Harus diakui, salah satu daya tarik Jogja di samping keratonnya adalah cerita-cerita tentang "di Jogja semua serba murah". Tetapi yakinlah, tak sampai sebulan, cerita-cerita itu akan terasa seperti dongeng. Tentu saja, kata 'murah' muncul karena ada pembandingnya, dan pembandingnya adalah harga di kota-kota lain. Tetap saja, tidak ada yang benar-benar murah di Jogja, kecuali nasi kucing yang berisi sekitar tiga sendok nasi dengan dua biji teri (saya sengaja menggunakan kata 'biji' untuk menekankan kesedikitannya), yang berharga Rp 2.000 per bungkus jika membeli di lingkungan kampus (rata-rata di kebanyakan tempat lain justru Rp 2.500 - 3.000 per bungkus). Untuk makan gudeg saja, semurah-murahnya Anda harus mengeluarkan uang Rp 15.000 per porsi, dan itupun kalau membelinya di pinggiran jalan (kalau beli di warung-warung gudeg terkenal, seperti Yu Djum misalnya, siapkan uang minimal Rp 30.000 untuk makan sendiri).

Lalu, jikapun ada es jeruk yang harganya Rp 2.500 per gelas, ya, wajar karena memang jeruk yang diperas cuma sebiji dan itupun ukurannya sangat kecil. Artinya, jika dibanding jus jeruk di kota-kota metropolitan yang harganya paling murah Rp 10.000, ya, rupiah yang harus dikeluarkan sama saja dengan harga jus jeruk di Jogja. Tidak lebih murah sama sekali.

5. Sulit Mencari Santan Asli atau Kelapa Parut

Di Jogja, menemukan bahan makanan tak semudah di kota metropolitan seperti Medan. Agak sulit diterima, memang, terutama jika kita berpijak pada persepsi bahwa kota budaya atau tradisional mestinya memudahkan kita menemukan hal-hal tradisional. Tetapi tidak dengan Jogja. Salah satunya tentu saja ikan laut segar. Semua orang mungkin sudah tahu soal ini. Maka jangan heran bila makan ikan laut di Jogja pasti mahal. Tetapi tak cuma ikan. Kelapa parut juga. Tidak seperti di Medan, misalnya, yang di sembarangan warung kelontong pun bisa ditemukan kelapa parut dengan mudah. Padahal Medan kota metropolitan, dan Jogja kota tradisional.

6. "Langkanya" Daun Pisang

Makan nasi bungkus akan terasa sedap bila dilapis daun pisang. Sayangnya, di Jogja, kota non-metropolitan, justru sangat jarang warung-warung makanan (sate, penyetan, dsb) yang kemasannya melibatkan daun pisang, minimal sebagai pelapis bagian dalam. Lagi-lagi, terasa mengecewakan karena di banyak tempat di Jogja, banyak tumbuh pohon pisang. Dikemanakan daun pisang itu? Apakah dimakan sendiri oleh pemiliknya (dijadikan sayur/lauk pauk, misalnya)? Entahlah.

7. Sulit Menemukan Tukang Urut Rumahan

Satu hal lainnya yang kontradiktif dengan cap Jogja sebagai kota tradisional adalah sulitnya menemukan tukang urut tradisional rumahan (tukang urut yang dikenal dari rumah ke rumah, tanpa mempromosikan diri dengan plang, brosur, dsb). Dalam hal ini, Jogja bahkan masih kalah dibanding Medan yang notabene kota metropolitan. Di Jogja, bahkan mayoritas orang Jogja asli pun akan kebingungan ketika ditanya, "Ada kenal tukang urut, gak?". Sementara di Medan, bertanya ke orang tak dikenal pun, asalnya dia penduduk setempat, akan segera dijawab, "Oh, di situ. Ini nomor HP-nya kalau perlu."

Demikian segelintir kekurangan tentang Jogja. Menurut hemat saya, kebanyakan "keistimewaan" Jogja selama ini lebih banyak didukung oleh melubernya informasi yang tersaji di internet. Artinya, wilayah-wilayah lain di Indonesia, jika mendapat perlakuan yang sama, barangkali bisa lebih "istimewa" dan menyenangkan dibanding Jogja.

Namun tentu saja, tulisan ini bukan untuk menjelek-jelekkan Jogja, melainkan, sebaliknya, sebagai kritik dan masukan dari saya, orang Medan, agar provinsi yang dipimpin langsung oleh Sultan Keraton Jogja ini lebih baik dan istimewa lagi. Atau, kalau memang hal-hal di atas baru-baru belakangan ini saja terjadi, tentulah tulisan ini dapat menyadarkan orang-orang di Jogja, terutama penduduk aslinya, agar membenahi diri; tekankan kembali kepada generasi berikutnya tentang pentingnya tenggang rasa (altruisme) dan tepa salira. Seraya itu, jangan mau terpengaruh oleh hal-hal buruk yang dibawa pendatang, sehingga tidak lagi ada alasan "itu bukan orang asli Jogja". Dan seraya itu pula, tanamlah banyak-banyak buah-buahan, terutama kelapa, pisang, jeruk, dan sebagainya, agar harga buah di Jogja bisa lebih murah karena tak lagi harus mengimpor dari kota atau negara lain. Manfaatkan ilmu dan teknologi dari universitas-universitas ternama itu jika dirasa iklim dan tanah di Jogja dirasa tidak mendukung. Sekian. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun