Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kue Politik Rasa SARA

19 November 2016   11:27 Diperbarui: 19 November 2016   12:13 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pandangan awam saya, perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dan sederet buntut yang menyertainya, tak lebih dari sekadar perkara politik belaka. Hebatnya, politik itu mampu menyamar menjadi apa saja, menarik siapa saja, menyertakan siapa saja. Kini, politik itu sadar betul akan adanya jalur yang menyebabkan siapa saja saling terhubung dan terlibat.

Sesungguhnya saya tak tertarik sama sekali terhadap perkara ini. Bukan saja perkara ini, tetapi segala hal yang mengandung unsur politik pada dasarnya saya memang tak pernah bersimpati. Jika pun saya menuliskan ini, itu tidak berarti bahwa saya telah mengubah jalan pikiran saya. Saya tetap antipati sebagaimana posisi saya semula.

Maka memang, sejak awal perkara ini mencuat, saya hanya sekadar mengintip saja. Mengintip berarti bahwa saya tetap mengikuti kabar-kabar yang menyangkut tentang perkara ini, tanpa ikut-ikutan menaruh kesan atau mengutarakan pendapat, apalagi sampai berdebat.

Boleh jadi saya menuliskan ini karena saya tersadar, betapa besar ketertarikan rakyat Indonesia terhadap politik. Malah luar biasa, jika boleh dikatakan demikian. Bahkan, mereka yang sehari-harinya seorang SPG kosmetik di sebuah mal atau pedagang ikan di pasar tradisional, juga tak ketinggalan. Rakyat, terlepas dari level kedalaman pengetahuan dan cara berpikirnya, telah bisa menganalisis laku-laku politik, membaca simpul-simpul yang mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lain, menebak hubungan seseorang dengan orang lain.

Bagaimana bisa itu semua terjadi? Bagaimana bisa rakyat turut terlibat ketika bahkan tak ada dampak yang akan mereka rasakan jika mereka memilih diam saja?

Fenomena seperti ini tentu bukan yang pertama. Sudah sangat sering, bahkan. Sebut saja saat masa Pilpres 2014 lalu. Atau saat perombakan kabinet yang mana ada satu menteri yang diduga memiliki status kewarganegaraan ganda. Rakyat banyak selalu terlibat (dilibatkan?).

Setiap kali memerhatikan gejolak semacam ini, telunjuk saya senantiasa menuding ke arah media massa, sebagai pemantik (untuk tak menyebutnya sebagai biang kerok) keterlibatan rakyat banyak.

Agar mudah dipahami, di sini saya akan mencoba menghindari penggunaan istilah-istilah teknis atau keilmuan dalam komunikasi massa.

Kenapa media massa? Karena media massa yang memungkinkan siapa saja di mana saja dapat mengetahui kabar yang sekalipun jauh. Kasus Ahok, misalnya. Oleh karena ada media massa, orang-orang dari Sabang sampai Merauke pun menjadi tahu.

Permasalahannya adalah apakah yang ditampilkan media massa benar-benar sebagaimana fakta yang ada? Apakah video Ahok di Kepulauan Seribu itu benar adanya? Atau apakah informasi bahwa ada yang mengubah video tersebut benar adanya? Lalu seperti apa demonstrasi 4 November itu? Apakah reportase media massa telah mencakup seluruh bagian dari demonstrasi?

Di dalam peliputan hingga pengemasan berita yang dilakukan oleh media massa, berlaku apa yang disebut dengan pembingkaian. Apa yang disajikan oleh sebuah media massa adalah sepotong fakta yang bentuknya menyesuaikan bentuk bingkai yang dipakai oleh media massa tersebut. Demikian pula dengan hiasan-hiasan yang menyertainya. Media massa bebas memilih jenis hiasan seperti apa yang akan dipakai untuk cetakan/bingkaian fakta yang mereka sajikan.

Ilustrasinya seperti membikin kue. Adonan kue di tampah adalah fakta secara keseluruhan. Sedangkan berita/tayangan yang disajikan oleh media adalah sepotong kue dari setampah adonan kue tadi yang dibentuk dengan sebuah cetakan (bingkai). Misalnya, jika media massa X menggunakan cetakan berbentuk hati, maka kue yang dihasilkan dan disuguhkan adalah kue berbentuk hati. Media massa Y yang mungkin menggunakan cetakan berbentuk persegi, akan menyuguhkan berita (kue) berbentuk persegi. Sisanya, di tampah, masih ada (bahkan banyak) fakta-fakta lain yang tak tersuguhkan.

Lalu soal hiasan kue tadi. Ini lebih “berbahaya” lagi. Inilah yang paling menentukan atau mengarahkan pikiran atau sikap orang banyak setelah menyaksikan tayangan/bacaan dari media massa.

Setelah dibentuk sesuai cetakan, tentu kue tadi dirasa masih “kurang menarik”. Maka, ditambahkanlah hiasan. Kue berbentuk hati tadi mungkin akan “cantik” bila ditambahkan buah cherry di atasnya, lalu dilapisi coklat di bagian pinggirnya. Sementara kue berbentuk persegi mungkin akan menarik dengan taburan keju parut di atasnya dan krim susu di bawahnya.

Begitulah berita. Setelah dibentuk sesuai cetakan (bingkai), berita kemudian ditambahi komentar dari akademisi atau praktisi atau siapa saja, dibumbui data-data di luar kejadian/peristiwa, ditaburi rupa-rupa reaksi dari sosok-sosok yang dianggap menarik (misalnya: presiden, petinggi parpol, ormas, dsb).

Mengenai konten penistaan agama? Saya tak akan jauh menelaah ke arah sana. Apakah Ahok benar-benar menistakan agama atau tidak, saya kira jawabannya hanya ada di dalam hati Ahok.

Tetapi, soal betapa gemuruhnya kemarahan orang-orang atas penistaan yang (sekali lagi) hanya bisa diketahui di dalam hati Ahok itu, saya agak sedih. Sedih bukan karena benar atau tidaknya penistaan itu, melainkan sedih karena, untuk kesekian kalinya, rakyat telah menjadi korban sajian media massa.

Tentu saja orang-orang media massa garis keras akan memprotes pendapat saya ini. Barangkali mereka akan menuding media sosial sebagai penyebabnya.

Tetapi bagi saya tidak. Pemantik utama tetap media massa, dalam arti lembaga/institusi yang menyebarluaskan produk jurnalistik. Media sosial hanya arena pertarungan rakyat versus rakyat yang terlanjur memercayai sajian-sajian media massa. Apalagi, orang-orang media massa pun juga merambah ke dalam media sosial dengan membagi-bagikan tautan dari berita yang telah mereka hidangkan. Dalam hal ini, media massa telah berhasil menjadi chef de cuisine yang handal.

Dan rakyat, ternyata, sangat menyukai kue-kue politik rasa SARA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun