Ilustrasinya seperti membikin kue. Adonan kue di tampah adalah fakta secara keseluruhan. Sedangkan berita/tayangan yang disajikan oleh media adalah sepotong kue dari setampah adonan kue tadi yang dibentuk dengan sebuah cetakan (bingkai). Misalnya, jika media massa X menggunakan cetakan berbentuk hati, maka kue yang dihasilkan dan disuguhkan adalah kue berbentuk hati. Media massa Y yang mungkin menggunakan cetakan berbentuk persegi, akan menyuguhkan berita (kue) berbentuk persegi. Sisanya, di tampah, masih ada (bahkan banyak) fakta-fakta lain yang tak tersuguhkan.
Lalu soal hiasan kue tadi. Ini lebih “berbahaya” lagi. Inilah yang paling menentukan atau mengarahkan pikiran atau sikap orang banyak setelah menyaksikan tayangan/bacaan dari media massa.
Setelah dibentuk sesuai cetakan, tentu kue tadi dirasa masih “kurang menarik”. Maka, ditambahkanlah hiasan. Kue berbentuk hati tadi mungkin akan “cantik” bila ditambahkan buah cherry di atasnya, lalu dilapisi coklat di bagian pinggirnya. Sementara kue berbentuk persegi mungkin akan menarik dengan taburan keju parut di atasnya dan krim susu di bawahnya.
Begitulah berita. Setelah dibentuk sesuai cetakan (bingkai), berita kemudian ditambahi komentar dari akademisi atau praktisi atau siapa saja, dibumbui data-data di luar kejadian/peristiwa, ditaburi rupa-rupa reaksi dari sosok-sosok yang dianggap menarik (misalnya: presiden, petinggi parpol, ormas, dsb).
Mengenai konten penistaan agama? Saya tak akan jauh menelaah ke arah sana. Apakah Ahok benar-benar menistakan agama atau tidak, saya kira jawabannya hanya ada di dalam hati Ahok.
Tetapi, soal betapa gemuruhnya kemarahan orang-orang atas penistaan yang (sekali lagi) hanya bisa diketahui di dalam hati Ahok itu, saya agak sedih. Sedih bukan karena benar atau tidaknya penistaan itu, melainkan sedih karena, untuk kesekian kalinya, rakyat telah menjadi korban sajian media massa.
Tentu saja orang-orang media massa garis keras akan memprotes pendapat saya ini. Barangkali mereka akan menuding media sosial sebagai penyebabnya.
Tetapi bagi saya tidak. Pemantik utama tetap media massa, dalam arti lembaga/institusi yang menyebarluaskan produk jurnalistik. Media sosial hanya arena pertarungan rakyat versus rakyat yang terlanjur memercayai sajian-sajian media massa. Apalagi, orang-orang media massa pun juga merambah ke dalam media sosial dengan membagi-bagikan tautan dari berita yang telah mereka hidangkan. Dalam hal ini, media massa telah berhasil menjadi chef de cuisine yang handal.
Dan rakyat, ternyata, sangat menyukai kue-kue politik rasa SARA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H