Mohon tunggu...
Abiyyu Siregar
Abiyyu Siregar Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswa yang gemar menuangkan buah pikirannya. Kadang segar, kadang kurang segar, tetapi tak pernah busuk, karena ide takkan kadaluarsa.

Selanjutnya

Tutup

Money

Defisit BPJS Kesehatan, Kondisi dan Solusi

25 Maret 2017   19:04 Diperbarui: 25 Maret 2017   19:10 2963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika membaca berita manapun yang memiliki sangkut paut dengan BPJS Kesehatan, hampir pasti bahwa kita hanya 1-2 klik saja ke berita yang menyatakan bahwa BPJS defisit. Sungguh disayangkan, bahwa badan yang mengatur dan meregulasikan jaminan kesehatan nasional harus menghadapi situasi yang kurang menyenangkan ini. BPJS Kesehatan nyatanya memang mengalami defisit selama tiga tahun terakhir. Ya, tiga tahun terakhir dapat dikatakan sejak awal berdirinya pada 1 Januari 2014 atas tindak lanjut Undang-Undang No. 24 Tahun 2011. Tidak hanya itu, defisit yang dialami juga meningkat selama tiga tahun tersebut. Berikut merupakan grafik untuk memvisualisasikannya.

Untuk mengatasi defisit ini, Pemerintah menganggarkan suntikan dana dari cadangan dana APBN setiap tahunnya. Kenaikan defisit yang terjadi ini juga bukan karena tidak ada alasan. Banyak faktor yang menyebabkan BPJS Kesehatan mengalami defisit bahkan dengan kenaikan yang signifikan setiap tahunnya. Faktor-faktornya banyak berada di sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu sendiri.

Pertama, sistem JKN ‘memaksa’ BPJS Kesehatan untuk defisit. Jaminan Kesehatan Nasional menganut prinsip gotong royong. Berbeda dengan prinsip asuransi komersial, pada JKN tidak digunakan waktu tunggu jaminan.Peserta BPJS dapat langsung mengklaim BPJS tepat setelah peserta itu membayar iuran yang diperlukan. Hal ini juga didukung dengan tidak adanya prinsip ‘pre-existing condition’ yang memasukkan kondisi peserta (sehat, sakit, atausakit parah) ke dalam pertimbangan berhak atau tidaknya mendapat jaminan kesehatan. Karena tidak adanya screening untuk pengklaim, semua peserta BPJS berhak langsung mendapat pelayanan kesehatan setelah mengajukan klaim tanpa adanya pemeriksaan risiko terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan melambungnya klaim BPJS yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Kedua, pelayanan kesehatan di indonesia terfokus pada aspek kuratif. Dari berbagai penyakit yang menjangkit masyarakat Indonesia, lima penyakit yang paling banyak memakan anggaran BPJS ialah penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, kanker, stroke, dan thalasemia.Penyakit-penyakit ini bukan dapat dicegah sepenuhnya, namun bisa dikurangi risiko terkenanya dengan pola hidup yang sehat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pola hidup kebanyakan masyarakat Indonesia tidak terlalu sehat. Budaya merokok, asupan gizi tidak seimbang, kurangnya olahraga, dan lain-lain menjadi faktor-faktor yang meningkatkan risiko terkena penyakit.

Tenaga kesehatan, menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, harus mengupayakan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pelayanan kesehatan promotif berarti kegiatan pelayanan berfokus kepada mempromosikan kesehatan kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan preventif berarti pelayanan berfokus kepada pencegahan terkena suatu penyakit. Kedua aspek pelayanan kesehatan ini berfokus pada saat masyarakat belum terjangkit suatu penyakit, dan aspek ini yang belum dioptimalkan oleh pemerintah. Seperti yang sudah beratus kali didengar sebelumnya: Mencegah lebih baik daripada mengobati. Pemerintah (dalam hal ini kementerian kesehatan) sudah seharusnya tidak memandang sebelah mata aspek pelayanan kesehatan kuratif dan promotif. Hal ini karena aspek inilah yang (secara tidak langsung) paling berpengaruh kepada kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan seharusnya difokuskan ke permukiman dan lingkungan hidup, bukan rumah sakit.

Dengan mengedepankan aspek promotif dan kuratif, tidak hanya kesehatan masyarakat bisa lebih terkontrol secara jangka panjang, anggaran kesehatan akan jauh mengecil. Daripada menunggu masyarakat sakit dan mengobatinya yang membutuhkan biaya mahal, lebih baik meminimalisasi kemungkinan masyarakat terjangkit suatu penyakit. Memberi edukasi kepada masyarakat tentang gaya hidup sehat dan mengerahkan tenaga kesehatan untuk mengawasi kesehatan setiap elemen masyarakat pada permukiman merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan promotif dan preventif yang dapat dilakukan.

Ketiga, sistem rujukan masih belum berjalan dengan efektif. Dalam data yang dimuat BPJS, masih banyak jumlah kunjungan peserta BPJS yang berada di fasilitas kesehatan tingkat 2 (rumah sakit tipe B, C, dan D) dan tingkat 3 (rumah sakit tipe A). Hal ini dianggap tidak efektif karena mayoritas klaim dari peserta BPJS bisa ditindaklanjuti pada fase pelayanan primer. Hal ini juga menyebabkan penggelembungan pengeluaran pengeluaran BPJS.

Salah satu solusi yang dilaksanakan pemerintah terkaitmasalah ini adalah dengan dimulainya program dokter layanan primer yangmencakup pendidikan setara spesialis yang khusus menangani layanan keseatanprimer (pelayanan kesehatan saat pasien bertemu pertama kali dengan tenagakesehatan). Namun, solusi ini menimbulkan masalah baru terkait pro kontramengenai program ini di kalangan mahasiswa kedokteran maupun dokter.

Keempat, adanya ketimpangan signifikan antara pengeluarandan pendapatan. Hal ini sebenarnya sangat jelas terlihat meningat BPJSKesehatan sendiri mengalami defisit. Namun demikian, hal yang perlu digarisbawahipada alasan ini terletak pada pengendalian pengeluaran agar bisa mencegah atauminimalnya mengurangi defisit. Upaya pengendalian pengeluaran padapenyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional dapat dilakukan denganmengantisipasi pengaruh inflasi pada kenaikan harga obat maupun alat kesehatan.Dalam melakukan upaya ini perlu sejalan dengan kinerja pemerintah dalammembangun ekonomi dan mengeluarkan kebijakan yang terkait.

Lalu solusinya bagaimana?

Ada banyak solusi yang bisa ditawarkan untuk memecahkan masalahdefisit ini. Solusi yang sedang dilakukan pemerintah adalah dengan berbagitanggung jawab BPJS antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan membagi tanggungjawab dalam menganggarkan BPJS, beban anggaran tidak akan terfokus ke pusat. Akantetapi, solusi ini cenderung mengarah kepada ‘menanggulangi’ dibandingkan dengan‘mengatasi’. 

Selain itu, dapat pula dilakukan kenaikan biaya operasionalBPJS untuk setiap kelas. Tentunya ini merupakan solusi yang paling tidakmemungkinkan karena tidak hanya menimbulkan penolakan dari masyarakat, kenaikanbiaya juga tidak akan cukup untuk menutupi defisit.

Maka dari itu, setelah dipikir-pikir, untuk mengatasi defisitpada BPJS Kesehatan ya hanya satu: meningkatkan kesehatan masyarakat. Meningkatkan kesehatan masyarakat terdengar begitu luas dan mudah, tetapi nyatanya belum ada yang berhasil sepenuhnya dalam mewujudkan ini. Hal ini karena setiap orang atau pihak berupaya mewujudkan ini bersama lembaga atau badan tempat ia berada, sedangkan pengupayaan kesehatan memerlukan integrasi dari semua bidang. Kesehatan sendiri menurut WHO adalah kondisi fisik, mental,dan sosial yang sehat dan tidak hanya ketiadaan suatu penyakit. Berarti, meningkatkan kesehatan tidak hanya memperbaiki dan menyehatkan kondisi fisik setiap orang, namun juga lingkungan hidup tempat masyarakat bersosialisasi.

Mungkin memang terdengar lucu bagaimana saya menghubungkan solusi defisit pada BPJS dengan meningkatkan kesehatan masyarakat. Analoginya serupa dengan menjawab bagaimana mengurangi risiko sakit dengan menjadi lebih sehat. Namun, memang ada hubungan erat antaranya. Negara-negara di eropa barat contohnya bisa meminimalisasi pengeluaran akibat jaminan kesehatan dengan menciptakan lingkungan yang sehat untuk warganya. Lingkungan yang sehat akan secara signifikan mengurangi risiko masyarakat terpapar penyakit sehingga ‘memotong’ proses pelayanan kuratif dengan tindakan preventif.

Pada akhirnya, semua kembali ke alasan kedua di atas mengenai alasan defisitnya BPJS Kesehatan. Suatu sistem jaminan kesehatan nasional di mana pun pasti tidak bertujuan untuk menciptakan profit, karena mendapat jaminan sosial yang di dalamnya termasuk jaminan kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia. Maka dari itu, setiap negara wajib mengupayakan jaminan kesehatan sebagai wujud kepedulian negara terhadap HAM warganya,walaupun harus sampai mengalami kerugian. Namun demikian, dirasa badan yang mengurus Jaminan Kesehatan Nasional juga tidak seperlunya mengalami defisit yang begitu besar, apalagi proses registrasi JKN belum komplit (baru ~70% warga Indonesia yang terdaftar BPJS) sampai 2019. Maka dari itu, integrasi setiap lembaga negara dalam membuat kebijakan yang mendukung peningkatan kesehatan Warga Negara Indonesia menjadi kunci dalam mengendalikan defisit pada BPJS Kesehatan.

Referensi

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
  4. Laporan Keuangan BPJS Kesehatan Tahun 2014 dan 2015
  5. BPJS: Defisit Anggaran Sebagian Besar Karena Penyakit Tidak Menular
  6. BPJS Kesehatan dilahirkan untuk defisit

_____________________________________________________________

Sekian tulisan saya buat, kritik, saran, pendapat, dan pertanyaan sangat dinantikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun