Manusia berkembang dan tumbuh dalam dua realitas. Realitas objektif dan realitas yang diciptakan oleh imajinasinya sendiri. Benarkah demikian? Kita bisa melihat, mendengar, dan menyentuh burung yang ada dalam sangkar. Tapi, bisakah kita melakukannya terhadap apa yang disebut dengan Hak Asasi Manusia, Keadilan, Kebebasan, Ideologi, Sistem sosial, dan Kepercayaan? Jawabannya, tidak.Â
Hal demikian hanya nyata dalam pikiran kita. Itulah yang disebut dengan realitas yang diciptakan oleh imajinasi manusia. Sedangkan burung yang ada di dalam sangkar adalah realitas objektif yang dapat dijamah oleh panca indra. Disadari atau tidak, tatanan kehidupan manusia diciptakan oleh realitas imajinasi manusia, misalnya kepercayaan.Â
Baca juga : Permainan Kognitif? Berikut Karya PMM UMM 69 Gelombang 6 dalam Kembangkan Kreativitas Anak
Kepercayaan menjadi penjaga keteraturan dan semangat hidup masyarakat. Bayangkan, bagaimana manusia-manusia mesir kuno bersedia untuk mencurahkan hidupnya membangun piramida tanpa kepercayaaannya kepada Dewa Ra?Â
Lalu, apa yang dapat mendorong manusia-manusia jawa kuno membangun candi Borobudur, jika tidak ada sistem kepercayaan yang diyakini secara massal?Â
Namun, tidak semua realitas imajinasi ini menghasilkan sebuah mahakarya. Realitas imajinasi juga telah menimbulkan penderitaan dalam sejarah umat manusia.Â
Baca juga : Perkembangan Kognitif pada Masa Anak-Anak Awal
Ironisnya rakyat Amerika sendiri memerdekakan dirinya dari Kerajaan Inggris dengan kepercayaan bahwa Tuhan menciptakan manusia secara setara. Tapi, hal itu tak berlaku bagi negro yang menderita, karena negro bukanlah manusia, sehingga negro bebas untuk diperbudak, statusnya hanyalah sebagai barang bukan manusia yang memiliki hak.Â
Dari contoh pandangan terhadap sistem rasial diatas. Realitas imajinasi juga memiliki sifat dapat mengalami perubahan, dan perubahan tersebut tak bisa dibandingkan dan diukur dengan nilai benar atau salah dengan menggunaka tolak ukur dari zaman yang berbeda.Â
Perubahan akan suatu realitas imajinasi dalam suatu masyarakat, akan menyebabkan perubahan-perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Tatanan masyarakat yang diciptakan dari imajinasi pikiran manusia bukan untuk kebohongan, tapi karena memang peradaban manusia membutuhkan hal itu.Â
Karena manusia akan sangat sulit bekerjasama dalam jumlah besar dengan orang yang baginya satu sama lain asing, tanpa adanya kepercayaan yang menyatukan mereka. Itulah kenapa negara pasti memiliki dasar pemersatu, entah itu agama, nasionalisme, demokrasi, pancasila, dan lainnya. Jadi, realitas imajinasi eksis karena fungsi kegunaanya, yakni untuk efisiensi kerja masyarakat.Â
Baca juga : Pengoptimalan Aspek Kognitif Anak Usia Dini Melalui Alat Permainan Edukatif (APE) Sederhana
Karena kegunaannya yang penting. Realitas imajinasi tersebut dicitrakan pada alam objektif. Saat ini realitas imajinasi tersebut dapat kita lihat dalam undang-undang, buku cerita, drama, sajak, puisi, lukisan, patung, dan lainnya. Kemudia diceritakan secara terus menerus dari generasi ke generasi dari mulai lahir sampai dewasa. Tercitrakan juga dalam bentuk arsitektur masyarakat modern.Â
Dimana rumah-rumah modern saat ini, terbagi atas kamar-kamar pribadi akibat masuknya pandangan realitas imanjinasi bernama privasi. Bandingkan dengan masyarakat tradisional dulu, dimana satu rumah dihuni oleh beberapa KK dan tidak memiliki bilik-bilik kamar pribadi. Hal ini akibat kuatnya imajinasi Komunal dalam masyarakat tersebut. Masjid, gereja, candi, juga adalah perwujudan dalam alam objektif.Â
Kemampuan manusia untuk menciptakan tatanan masyarakat, yang berdasar pada realitas imajinasi, diawali dari kemampuannya untuk menciptakan fiksi-fiksi yang disebarkan dengan cara bergosip dengan kerabat sehingga kemampuan untuk menyampaikan informasi menjadi lebih kompleks.Â
Kemampuan menciptakan fiksi-fiksi melahirkan kepercayaan pada roh leluhur, arwah, dan tahap yang lebih kompleks dewa-dewa. Kemampuan bergosip menciptakan kepercayaan yang erat dalam kelompok, siapa musuh, siapa kawan, siapa yang dapat dipercaya, dan siapa yang tidak. Kemampuan menyampaikan informasi yang lebih kompleks ini bisa kita contohkan demikian. seekor babon hanya dapat memberi isyarat "Awas ada singa" kepada kawanannya.
Tetapi manusia pada zaman pemburu-penjelajah (setelah revolusi kognitif) mampu memberikan informasi yang lebih kompleks. Contoh, "Di tepi sungai ada kawanan singa yang sedang mengejar seekor bison." Dengan kemampuan seperti itu, manusia menjadi lebih terlindungi dari predator dan tahu dimana lokasi untuk berburu.Â
Perkembangan kemampuan berfikir seperti itu yang disebut sebagai Revolusi Kognitif, yang terjadi 70.000 tahun yang lalu, yang hanya dialami oleh spesies Homo Sapiens. Inilah mengapa Homo Sapiens bisa bertahan dan terus berevolusi menciptakan kehidupan yang terus berkembang hingga saat ini.Â
Sedangkan kerabat satu genus-nya, Homo Neandertal, Homo Erectus, Homo Soloensis, dan Homo Florensis musnah karena dibasmi oleh nenek moyang kita. Karena tak mampu bersaing melawan Homo Sapiens yang lebih super power.Â
Karena kegunaan realitas imajinasi yang tidak bisa dikesampingkan, maka hal ini adalah sebuah keniscayaan. Sayangnya, hari ini manusia sedikit lupa bahwa tatanan kehidupan hanyalah karangan yang dibuat manusia. Seperti manusia yang memahat kayu kemudian mempercayainya sebagai Tuhan pemberi kehidupan. Alih-alih berusaha meningkatkan potensi yang ada dalam dirinya, manusia justru menghamba pada hasil ciptaannya.
Kita bisa saja saat ini menolak untuk mempercayai "Dollar", tapi hal itu sia-sia karena ada milyaran orang di dunia ini yang masih percaya Dollar. Jika ingin meruntuhkan suatu sistem, hal itu tidak bisa dilakukan dengan menggunakan kekuatan satu orang. Perlu adanya organisasi massa, politik, dan bersifat revolusioner yang menjadi penekan masal.Â
Ketika hal itu berhasil. Selamat, anda baru saja keluar dari sangkar burung, kemudian masuk kedalam kandang macan. Seperti perubahan dari monarki - teokrasi - feodal - komunis - hingga menjadi liberal.
Ya, manusia bisa saja merubah, tapi tidak bisa terbebas dari realitas imajinasi. Hal itu karena manusia tidak bisa berhenti menciptakan hal-hal fiksi yang kemudian akan mereka percayai, dan jangan lupakan bahwa realitas imajinasi sebagai sebuah kebutuhan untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia.
***
Terinspirasi dari
Sapiens, Yuval Noah Harari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H