Mimpi besar Bangsa Indonesia akhirnya terwujud. Puluhan tahun mengimpor beras, Tanah Air kembali berdaulat di era pemerintah Jokowi-JK melalui terobosan fundamental Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman. Ini merupakan sejarah emas yang kembali terulang setelah terakhir kali di era Suharto yang sukses mengekspor beras di tahun 1983.
Tentang kebijakan tidak ada impor beras, secara resmi dideklarasikan Presiden Jokowi saat menghadiri peringatan Hari Pangan Sedunia di Boyolali tanggal 29 Oktober 2016. "Saya pastikan sampai akhir tahun tidak ada impor. Saya sudah sampaikan tahun yang lalu, September-Oktober hanya 1,030 juta ton. Sekarang persediaan beras mencapai 1,980 juta ton," tegas Jokowi.
Kebijakan ini merupakan gong yang menandakkan ‘matinya’ impor beras mulai tahun 2016. Di tahun 2017, dapat dipastikan juga produksi padi surplus, sehingga Indonesia kembali menyetop keran impor beras.
Berdasarkan data BPS (2016) Angka Tetap (ATAP) produksi padi 2015 mencapai 75,4 juta ton GKG, naik 6,42 persen dibandingkan ATAP tahun 2014. Kemudian data Pra Angka Ramalan-II produksi padi 2016 mencapai 79,1 juta ton sehingga terjadi peningkatan produks padi sebesar 4,96 persen.
Produksi padi 2016 ini setara dengan beras 44,3 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi beras hanya 33.3 juta ton. Dengan demikian, neraca beras mencapai surplus 11,0 juta ton. Beras ini tersimpan di petani, gudang penggilingan, pedagang, industri, Bulog dan konsumen.
Akan hal ini, dicapai di tengah tingginya pesimisme berbagai kalangan terhadap Program Upaya Khusus (Upsus) pemerintahan Jokowi-JK dalam mewujudkan target swasembada pangan, kini impor beras tidak ada di tahun 2016. Persediaan beras nasional saat ini sampai dengan Mei 2017 mendatang mampu dicukupi dari produksi sendiri. Impor beras yang masuk pada awal tahun 2016 hanyalah luncuran impor sebagai beras cadangan tahun 2015.
Di tahun 2017 Kementerian Pertanian memasang target produksi padi 78,13 juta ton. Untuk saat ini, diprediksi produksi beras dari bulan Februari hingga Juni 2017 mencapai 30,05 juta. Angka produksi ini surplus alias melebihi kebutuhan konsumsi.
Pasalnya, kebutuhan konsumsi beras hanya 2,6 juta ton per bulan sehingga surplus 17,05 juta ton. Capaian ini mampu mencukupi kebutuhan konsumsi untuk 6,5 bulan ke depan.
Artinya kebutuhan konsumsi selama 2017 mampu dipenuihi hanya dari produksi padi di bulan Februari hingga Juni bahkan masih surplus untuk mencukupi kebutuhan beras selama 0,5 bulan di tahun 2018. Dengan begitu, produksi di musim tanam berikutnya dapat digunakan untuk stok di tahun 2018 dan sebagiannya untuk kebutuhan ekspor.
Data Kementerian Pertanian menyebutkan, ekspor beras di tahun 2016 sebesar 43,7 persen. Oleh karena itu, di tahun 2018 suatu keniscayaan bagi Indonesia untuk mengekspor beras dalam volume besar dan ke banyak negara.
Pencapaian ini menunjukkan bahwa Program UPSUS yang diperintahkan Presiden Jokowi kepada Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman benar-benar mampu menunjukkan hasil yang nyata. Melalui Program UPSUS ini, Amran menargetkan dalam waktu 3 tahun swasembada beras.
Target ini mampu diwujudkan Amran dengan komitmen untuk tidak impor beras bahkan siap mengorbankan nyawa demi mensejahterakan petani benar-benar tidak main-main. Tidak adanya impor beras 2016 pun sekaligus mematahkan keraguan berbagai kalangan yang beranggapan tidak mungkin mewujudkan swasembada beras dalam waktu dekat.
Namun, seandainya tidak ada Program UPSUS, Indonesia di tahun 2016 dipastikan akan mengimpor beras mencapai 16 juta ton. Apabila ini terjadi, beras petani tidak ada harganya, akibatnya petani terus gulung tikar, inflasi tidak terkendalikan dan akhirnya kemiskinan di tingkat petani makin melebar. Parahnya, kondisi ini dipastikan akan menimbulkan disintegrasi sosial sehingga ketahanan negara pun menjadi terganggu.
Program UPSUS pun membantu Bulog dalam menyerap gabah petani sehingga rantai pasok menjadi pendek dan petani mendapat harga yang menguntungkan. Hasilnya, kinerja serapan beras selama 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK menunjukkan tren yang meningkat.
Berdasarkan data Bulog, serapan gabah di tahun 2016 mencapai 2,97 juta ton dan stok beras sampai dengan Desember 2016 mencapai 1,734 juta ton. Penyerapan ini lebih tinggi dibanding serapan 2014 yang hanya 1,8 juta ton dan 2015 sekitar 2,4 juta ton.
Optimalnya kinerja serapan Bulog tersebut, karena adanya keterlibatan Amran yang berani melakukan “revolusi mental” pada institusi Bulog melalui Program Serap Gabah Petani (Sergap). Yakni merubah pola kerja konvensional diganti dengan cara kerja yang baru.
Pertama, mengubah kebiasaan Bulog membeli beras yang hanya menguntungkan middle-man menjadi membeli gabah langsung ke petani. Kedua, mengubah dari biasa bermitra hanya ke pedagang atau penggilingan menjadi bermitra petani dan seluruh stakeholder.
Ketiga, mengubah cara kerja pasif yaitu beras diantar pedagang langsung ke gudang Bulog menjadi menjemput bola turun langsung ke sawah membeli gabah. Keempat, mengajarkan praktek bisnis yang profesional dan menguntungkan sekaligus melindungi yang lemah.
Kemudian di tahun 2017, Kementerian Pertanian kembali menggerakan Tim Sergab untuk mempercepat penyerapan gabah petani dan sekaligus menstabilkan harga. Upaya ini sekaligus menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi untuk menjaga kedaulatan pangan dengan menyerap gabah petani minimal 4 juta ton setara beras dalam waktu 6 bulan yakni Maret hingga Agustus 2017.
Mentan Amran mengatakan untut mencapai target serap gabah tersebut, Kementerian pertanian menargetkan serap gabah petani pada periode Maret hingga Agustus 2017 sebanyak 8,6 juta ton atau 5,46 juta ton setara beras. Menurutnya, target ini optimis mampu dicapai karena di tahun 2016 Indonesia tidak mengimpor beras atas prestasi semua pihak khususnya Bulog dalam menyerap gabah petani.
“Kita tidak lagi impor, kita sudah mulai ekspor, prestasi kita semua. Bulog mampu penuhi stok, prestasi yang banggakan. Luas lahan tanam terus bertambah, 6 juta ton gabah terus bertambah. Jagung pun impornya terus turun, tertinggi dalam sejarah,” kata Amran saat memberikan arahan dalam Rapat Gabungan Percepatan Serap Gabah dan Pengamanan Harga 2017 di Kantor Pusat Kementan, Jakarta, (23/2/2017).
Revolusi mental melalui Program Sergab ini diyakini berdampak ekonomi lebih luas, memperpendek rantai pasok semula 7 hingga 9 level menjadi 3 hingga 4 level saja, memberikan perlindungan harga dan profit bagi petani, merubah struktur dan prilaku pasar pangan, serta mewujudkan keseimbangan manfaat dinikmati antara produksen, pedagang dan konsumen.
Oleh karena itu, berbagai terobosan inilah kini Indonesia mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam mencukupi kebutuhan beras. Ini prestasi yang harus diapresiasi oleh semua elemen dan pro aktif mendukung sehingga ke depannya Indonesia terus berdaulat beras bahkan beras Indonesia mampu menjadi feed the world.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H