Mohon tunggu...
Abiyadun Masykur
Abiyadun Masykur Mohon Tunggu... -

Praktisi muda pertanian, Perkumpulan Alumni Muda Institut Pertanian Bogor (PADI)

Selanjutnya

Tutup

Money

Hegemoni Beras Impor Tamat di Tangan Menteri Pertanian Amran Sulaiman

1 November 2016   14:38 Diperbarui: 2 November 2016   14:53 2132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi meninjau panen padi di Desa Trayu, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, rangkain acara Hari Pangan Sedunia, Sabtu, 29 Oktober 2016 (Foto: Kantor Staf Presiden).

Melewati dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, kinerja sektor pangan mampu mengakhiri Indonesia sebagai negeri gemah ripah loh jinawi dari hegemoni beras impor. Persediaan beras nasional saat ini sampai dengan Mei 2017 mendatang mampu dicukupi dari produksi sendiri, sehingga tidak ada impor beras di tahun 2016 ini. Impor beras yang masuk pada awal tahun 2016 hanyalah luncuran impor sebagai beras cadangan 2015.

Tentang kebijakan tidak ada impor beras, ini dideklarasikan Presiden Jokowi saat menghadiri peringatan Hari Pangan Sedunia di Boyolali tanggal 29 Oktober 2016. "Saya pastikan sampai akhir tahun tidak ada impor. Saya sudah sampaikan tahun yang lalu, September-Oktober hanya 1,030 juta ton. Sekarang (persediaan) 1,980 juta ton," tegas Jokowi yang dikutip di Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.

Pernyataan Kepala Negara tersebut dapat dipastikan sama sekali tidak ada unsur klaim dan pencitraan. Namun merujuk pada fakta dan data produksi hasil kerja nyata Kementerian Pertanian (Kementan) di bawah komando Andi Amran Sulaiman melalui Program Upaya Khusus (UPSUS) Swasembada Pangan khususnya beras.

Tak heran, FAO Perwakilan Indonesia pun mengapresiasi peningkatan produksi padi. Indonesia telah mampu menenuhi kebutuhan beras dari produksi sendiri. Apresiasi tersebut disampaikan Mark Smulders saat menghadiri pembukaan Pameran Hari Pangan Sedunia (HPS) di Boyolali, Jumat (28/10).

Hasil kerja nyata ini dirilis oleh lembaga resmi pemerintah yaitu BPS, bukan lembaga abal-abal atau tidak kompeten yang selama ini meragukan kemampuan Kementan untuk meraih target produksi dalam waktu singkat. Berdasarkan data BPS (2016) Angka Tetap (ATAP) produksi padi 2015 mencapai 75,4 juta ton GKG, naik 6,42% dibandingkan ATAP tahun 2014. Kemudian data Pra Angka Ramalan-II produksi padi 2016 mencapai 79,1 juta ton sehingga terjadi peningkatan produks padi sebesar 4,96%. Alhasil, di bulan Oktober 2016, Indonesia memiliki persediaan stok beras di gudang Bulong mencapai 2,6 juta ton.

Produksi padi 2016 ini setara dengan beras 44,3 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi beras hanya 33.3 juta ton. Dengan demikian, neraca beras mencapai surplus 11,0 juta ton. Beras ini tersimpan di petani, gudang penggilingan, pedagang, industri, Bulog dan di konsumen.

Survey sucofindo setelah musim kemarau, periode Oktober 2010, menghasilkan data stok di produsen 64,21%, pedagang 24,29% dan konsumen 11,5%. Sedangkan survey setelah panen raya, Juni 2011 menyebutkan stok di produsen 81,51%, pedagang 9,02% dan konsumen 9,47%. Artinya, data ini memperlihatkan fakta keberadaan surplus beras di atas, sehingga tidak bisa sembarangan meragukan dan mempertanyakan keberadaan beras.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari data dan fakta inilah Presiden Jokowi dengan tegas memutuskan untuk tidak mengimpor beras di tahun 2016. Kebijakan ini sangat tepat karena secara terbuka memperlihatkan eksistensi pemerintah untuk tidak menghianati petani. Pemerintah benar-benar memanusiakan petani dan berkomitmen tinggi memerangi atau menumpas mafia pangan. Petani selalu menanggung rugi saat musim panen akibat harga merosot karena membanjirnya beras impor dan mafia pangan yang memonopoli pasar. Kondisi ini selalu terjadi setiap tahun sehingga petani terus berstatus miskin.

Kebijakan ini pun menunjukan bahwa pemerintah serius membangun kedaulatan pangan yang menjadi harga mati. Apalagi sektor pertanian ke depannya dihadapkan pada tantangan besar yakni ancaman perubahan iklim dan makin bertambahnya jumlah penduduk. Sehingga, apabila terus mengimpor beras sementara produksi dalam negeri melimpah, ini akan berdampak pada petani menjadi malas untuk bertani bahkan melemahkan ketahanan negara karena ketahanan pangan hanya retorika.

Selain itu, yang patut diapresiasi dan dibanggakan, kebijakan Jokowi untuk tidak mengimpor beras merupakan gong yang memproklamasikan secara keras atas keberhasilan capaian Program UPSUS Swasembada Pangan Kementan selama dua tahun dan sekaligus menjawab keraguan banyak pihak akan mustahilnya menaikkan produksi padi dalam waktu singkat.

Perlu diketahui, Program UPSUS Swasembada Pangan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman di antaranya revisi Perpres 172/2014 tentang penunjukkan langsung pengadaan benih dan pupuk. Melalui program ini, Kementan mencanangkan secara besar-besaran rehabilitasi jaringan irigasi tersier, bantuan alat mesin pertanian, bantuan benih unggul, bantuan pupuk, dan penanaman jajar legowo. Alhasil, terjadi peningkatkan indeks pertanaman, luas tanam, luas panen dan produktivitas pangan.

Tidak Sekedar Hentikan Impor

Harus disadari, kebijakan tidak mengimpor beras ini tidak terpaku pada upaya peningkatan produksi saja. Pemerintah harus menindaklanjutinya dengan program kreatif sehingga produksi beras di daerah sentra produksi dapat didistribusikan ke daerah lain dan harga beras di masyarakat stabil sehingga tidak merugikan petani dan pelaku usaha. Keduanya ini harus sama-sama mendapat keuntungan, tidak boleh hanya salah satu apalagi yang mendapat untung hanya pedagang sementara petani menanggung rugi. Konsumen pun tidak menerima harga beras yang tinggi.

Hal ini dapat diwujudkan dengan melakukan beberapa langkah aksi. Pertama, membangun hubungan sinergis antar Kementerian/lembanga pemerintah pusat dan kerja sama yang baik pemerintah pusat dengan daerah. Sinergitas ini harus mampu membangun sistem logistik beras nasional. Sistem ini yakni dengan memadukan setiap rantai mulai dari budidaya, pengolah, dan distributor agar dapat menjamin ketersediaan, kualitas, dan kesinambungan produksi beras secara efisien.

Misalnya merealisasikan tol laut yang dapat mengangkut komoditas pangan khususnya beras. Operasional tol laut ini harus berjalan lancar dan efektif sehingga benar-benar memotong rantai pasok dan memberantas keterlibatan mafia pangan yang memainkan harga dan menimbun pangan.

Kedua, pemerintah harus benar-benar dapat mewujudkan pembangunan lumbung pangan masyarakat sampai ke wilayah perbatasan.

Ketiga, program swasembada beras harus dibarengi dengan peningkatan produksi pangan lokal dan diversifikasi pangan nusantara yang sangat beragam. Sehingga hasil peningkatan produksi padi ke depannya digunakan untuk ekspor. Sebab, bukan hal yang tidak mungkin di masa akan datang, masyarakat pedesaan menjadi bergantung hanya pada beras. Apabila ini terjadi, masyarakat akan meninggalkan produksi dan konsumsi pangan lokal yang menjadi identintas budayanya.

Keempat, peningkatan produksi padi harus dibarengi jaminan harga agar petani tidak merugi saat panen. Untuk itu pemerintah sebaiknya mengembalikan peran Bulog pada posisi semula untuk menyerap gabah petani sesuai HPP dan pemerataan distribusi pangan. HPP beras sudah waktunya untuk dinaikan sehingga Bulog optimal menyerap gabah petani. Dampaknya petani tidak merugi saat panen dan petani pun terlepas dari lingkaran setan kemiskinan. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun