Mohon tunggu...
Abiyadun Masykur
Abiyadun Masykur Mohon Tunggu... -

Praktisi muda pertanian, Perkumpulan Alumni Muda Institut Pertanian Bogor (PADI)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pertemuan Jokowi-Duterte Harusnya Mengangkat Isu Ketahanan Pangan

11 September 2016   15:59 Diperbarui: 3 November 2016   19:16 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini pada tanggal 9 September 2016, Presiden RI Jokowi menerima kunjungan kenegaraan perdana Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte di Istana Merdeka, Jakarta. Pertemuan ini menandakkan sosok kepemimpinan Jokowi yang inklusif menjalin hubungan bilateral demi membangun negara yang maju di mata negara-negara lain.

Alhasil, pertemuan bilateral ini melahirkan kesepakatan untuk memperkuat kerja sama di bidang keamanan maritim yakni terkait keamanan perairan Sulu. Presiden Filipina sepakat untuk meningkatkan keamanan di wilayahnya sekaligus melakukan patroli bersama kedua negara.

Selain itu, Indonesa-Filipina pun sepakat untuk menyelesaikan sejumlah permasalahan yang dihadapi kedua negara, seperti persoalan kuota haji dan pemberantasan narkoba. Bahkan Presiden Jokowi menyatakan mendukung keketuaan Filipina di ASEAN. Jokowi memandang, kepemimpinan Filipina di ASEAN akan menentukan perjalanan ASEAN untuk dapat melangkah ke depan.

Namun, jika mengaitkan Indonesia sebagai negara agraris yang mayoritas penduduknya adalah petani dan pangan salah satu sektor penyumbang terbesar devisa, seharusnya pertemuan bilateral kedua negara ini mengangkat juga isu ketahanan pangan. Selain itu, ada beberapa alasan juga kenapa isu pangan menjadi hal penting untuk dibahas dan  menjadi salah satu agenda kerja sama antara Indonesia-Filipina.

Pertama, dalam pertemuan ke-19 ASEAN Plus Three (APT) di Vientiane, Laos, Rabu (7/9/2016), Jokowi menyampaikan untuk menjamin stabiltas ekonomi, perlu penguatan di bidang perdagangan dan investasi, serta penyediaan jaring pengamanan di sektor strategis seperti keuangan dan ketahanan pangan.

Dalam isu ketahanan pangan, peran APT Emergency Rice Reserve (APTERR) dipandang penting untuk dapat terus memastikan ketersediaan cadangan beras yang memadai di kawasan. Untuk itu, dalam konteks mendukung kepemimpinan Filipina di ASEAN dan sebagai kunci untuk menjamin stabilitas ekonomi bahkan keamanan di wilayah berbatasan, maka pangan seharusnya menjadi agenda utama dalam pembahasan pertemuan bilateral Jokowi-Duterte.

Kedua, kerja sama di bidang keamanan maritim tidak hanya sebatas pada keamanan perairan Sulu. Akan tetapi perlu juga terkait keamanan pangan di wilayah perbatasan sebagaimana yang diungkapkan Presiden Jokowi dalam pertemuan ke-19 ASEAN Plus Three (APT) di Vientiane, Laos. Kenyataannya, kondisi masyarakat di wilayah perbatasan sangat sulit mengakses bahan pangan.

Perlu disadari, isu pangan merupakan isu strategis untuk menciptakan kegaduhan dan memainkan propaganda agar menguasai wilayah sehingga keamanan pertahanan nasional suatu negara menjadi rapuh.

Selain itu, wilayah perbatasan merupakan pintu utama masuknya serangan bioterorism yang dapat menghancurkan pertanian dan manusia secara perlahan-lahan. Apabila ini terjadi, maka berbagai upaya saat ini untuk meningkatkan produksi akan menjadi sia-sia karena telah masuk dan menyebar virus-virus yang merusak tanaman pertanian bahkan berdampak negatif pada manusia itu sendiri.

Ketiga, berkaitan dengan konsistensi mewujudkan agenda prioritas pembangunan nasional yang didengungkan Presiden jokowi dalam Nawa Cita yakni salah satunya mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Kerja sama Indonesia-Filipina di sektor pertanian sangat diharapkan agar Indonesia dapat belajar banyak dari Pemerintah Filipina, yang telah mengadopsi bioteknologi selama lebih dari satu dekade. Filipina merupakan salah satu pemain utama dan menjadi model bagi pengembangan bioteknologi, tidak hanya di ASEAN, tetapi di Asia Pasifik.

Pemerintah Filipina menerapkan aturan yang jelas, transparan, dan menerapkan pendekatan sains dalam pengkajian bioteknologi. Untuk memastikan produk bioteknologi aman terhadap manusia melalui konsumsi pangan, pakan bagi hewan, dan lingkungan, kebijakan yang diterapkan dalam evaluasi produk bioteknologi ini mengacu kepada organisasi dan aturan internasional seperti Cartagena Protocol on Biosafety, Codex Alimentarius Commission (untuk keamanan pangan), The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dan UN Food and Agriculture Organization.

Akan tetapi, walaupun Filipina memiliki inovasi teknologi yang maju dalam pengembangan jagung, di tahun 2015 melakukan impor jagung dari Indonesia mencapai 400 ribu ton. Jagung tersebut sebagian besar bersumber dari hasil panen petani di Gorontalo, Sulawesi Selatan, Bima, Dompu dan Sumbawa.

Untuk itu, selaras dengan semangat pemerintahan Jokowi-Jk yang ingin mewujudkan swasembada pangan khususnya padi dan jagung dengan target 3 tahun, pertemuan bilateral antara Jokowi-Duterte seharusnya mengedepankan isu ketahanan pangan khususnya di wilayah peebatasan. Indonesia-Filipina diharapkan menjalin kerja sama terkait peningkatan inovasi teknologi pertanian sehingga Indonesia mampu meningkatkan lagi produktivitas pangan. Indonesia pun dapat terus melakukan ekspor jagung dan pangan lainnya ke Filipina. Dengan begitu, upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani dapat dicapai.

Keempat, menurut prediksi FAO (2015), jumlah populasi dunia sampai dengan tahun 2050 akan mencapai lebih dari 9 milyar penduduk. Ironisnya, kondisi ini akan terjadi di negara berkembang dan masih berada dalam fase transisi ekonomi. Di satu sisi, kemampuan negara-negara berkembang untuk meningkatkan produksi pertanian tidak sebanding dengan peningkatan populasi. Artinya peningkatan jumlah penduduk lebih besar dibandingkan peningkatan produktivitas pangan.

Selain itu, kondisi saat ini tengah terjadi semakin berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya terbarukan. Ini merupakan tantangan besar dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian. Misalnya, penurunan kualitas air dan tanah, perubahan iklim, dan berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian. Untuk itu, salah satu solusi untuk mengurai tantangan ini yakni dengan inovasi dan teknologi.

Penerapan inovasi dan teknologi yang canggih dapat meningkatan hasil panen, menggunakan sumber daya yang ada secara lebih efisien, ramah bagi lingkungan dan aman bagi manusia. Contohnya, penelitian dan komersialisasi tanaman hasil modifikasi genetis (tanaman bioteknologi). Tidak hanya menguntungkan dari segi sosial ekonomi karena peningkatan produktivitas pertanian, tanaman bioteknologi juga berpotensi untuk mengurangi efek rumah kaca dengan mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida.

Oleh sebab itu, karena Filipina merupakan salah satu negara yang telah mengadopsi bioteknologi lebih dari satu dekade, Indonesia perlu menjalin hubungan kerja sama agar dapat belajar banyak dalam mengadopsi bioteknologi. Namun penerapan bioteknologi ini tanpa harus melupakan unsur kearifan lokal.

Pentingnya mengadopsi bioteknologi bagi Indonesia karena mengingat pemilikan lahan petani saat ini hanya 0,3 ha/KK tani. Inovasi dan teknologi terbarukan tidak sampai pada petani atau memang tidak ada pembaharuan. Inilah yang menyebabkan produktivitas pangan petani rendah dan petani tetap dalam keadaan miskin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun