cryptocurrency meningkat sebesar 48,7% pada akhir November 2022. Ke depannya bank diperbolehkan memiliki aset kripto, tetapi dengan syarat mempertimbangkan nilai Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) sesuai dengan peraturan internasional.
Menurut data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), jumlah penggunaSeperti namanya, ATMR merupakan jumlah aset sebuah bank berdasarkan profil risikonya. Artinya, semakin tinggi ATMR, semakin tinggi risiko penempatan aset bank.
Bayangkan jika sebuah bank ingin memiliki aset kripto, maka bank tersebut harus memiliki ATMR sebesar 1250%. Penurunan nilai aset yang sangat berisiko. Sebagai perbandingan, jika bank menyalurkan kredit maka ATMR harus 100%. Untuk kredit menggunakan jaminan dari pemerintah, maka ATMR-nya 0%.
Beberapa bank di luar negeri sudah memfasilitasi penggunaan kripto sebagai alat pembayaran. Sebut saja JP Morgan Chase, lembaga perbankan pertama di Amerika Serikat yang menawarkan layanan kripto setelah Juli 2021 dengan meluncurkan JPM Coin, mata uang digital internal yang terhubung dengan USD digunakan untuk transaksi pembayaran instan.
Adapun contoh bank lain seperti Banco Bilbao Vizcaya Argentaria (BBVA) di Spanyol, Swissquote, Standard Chartered di Inggris dan Fidor Bank di Jerman.
Perkembangan Aset Kripto di Dalam Negeri
Meski perdebatan seputar kripto masih bergulir, namun tingginya minat orang berinvestasi menjadikan kripto sebagai salah satu alternatif berinvestasi. Industri kripto dan perbankan bisa saja bekerjasama apabila dilihat dari segi bisnis dan teknologi, namun peraturan belum dibuat secara jelas.
Regulasi saat ini sedang dalam tahap transisi, kripto saat ini diawasi oleh Bappebti, sedangkan bank diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, untuk dua tahun mendatang, pengawasan kripto akan berada dibawah pengawasan OJK terhitung sejak disahkannya UU No.4 Tahun 2023 pada tanggal 12 Januari 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Saat ini kripto hanya digunakan sebagai komoditas di Indonesia dan bisa diperdagangkan di bursa berjangka. Dengan begitu, bisa dikatakan kalau pembayaran dengan menggunakan kripto seperti Bitcoin, Ethereum dan sejenisnya adalah hal yang ilegal dan melawan hukum.
Larangan ini ditegaskan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/12/PBI/2017, tentang penyelenggaraan teknologi finansial (Tekfin).
Pun kebijakan OJK terhadap aset kripto diperketat. Untuk memahami bahaya aset digital, OJK melarang semua lembaga jasa keuangan memfasilitasi aset kripto. Menurut kebijakan ini, semua bank, asuransi, dan perusahaan multifinance di bawah pengawasan OJK dilarang menggunakan, memasarkan, atau memfasilitasi perdagangan aset kripto.
Larangan Fasilitasi Mata Uang Kripto
Tidak hanya melihat potensi keuntungan, pemahaman yang lebih komprehensif tentang risiko dalam berinvestasi cryptocurrency juga lebih penting.
Cryptocurrency pertama dan terpopuler yang diciptakan adalah Bitcoin, yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Bitcoin diikuti oleh penciptaan cryptocurrency lainnya. Setelah itu, cryptocurrency sendiri berkembang seiring dengan perkembangan teknologi digital.
Penampakan Bitcoin berbeda dari penciptaan uang yang dicetak dan diedarkan secara terpusat oleh bank sentral. Karena dicetak dan diedarkan secara sah oleh BI, maka BI bertanggung jawab untuk menjaga nilai rupiah. Melalui berbagai kebijakan moneter, BI bertujuan menyesuaikan jumlah rupiah yang beredar dengan kebutuhan moneter perekonomian.
Tugas lain BI juga mencegah pemalsuan uang rupiah. Saya rasa di negara manapun, ini menjadi tugas utama bank sentral. Beginilah cara uang mendapatkan kepercayaan. Dengan kata lain, uang yang diciptakan dan diedarkan oleh bank sentral memiliki "underlying value".
Lain halnya cryptocurrency yang dibuat secara terdesentralisasi. Artinya, cryptocurrency tidak diciptakan oleh institusi tertentu, melainkan oleh pihak yang tergabung dalam teknologi blockchain yang kemudian disebut "mining". Penambangan mendorong pasokan, sementara permintaan lebih digerakkan oleh pasar. Penciptaannya pun terbatas, Bitcoin misalnya, hanya dibuat dalam 21 juta keping saja.
Perbedaan antara cryptocurrency dan uang terutama dalam penciptaan nilai. Nilai uang terdiri dari penawaran dan permintaan, yang direncanakan dan dikelola secara sistematis oleh bank sentral. Sedangkan, nilai cryptocurrency dibuat berdasarkan penawaran dan permintaan tanpa perencanaan oleh pihak mana pun.
Ketika pasokan cryptocurrency terbatas, peningkatan permintaan yang disebabkan oleh aktivitas spekulatif akan meningkatkan nilai kripto. Dinamika pembentukan nilai cryptocurrency menunjukkan bahwa nilainya terus berfluktuasi.
Cryptocurrency yang saat ini memiliki nilai sangat tinggi, seketika dapat turun hingga tidak lagi memiliki nilai. Ketika ini terjadi, tidak ada bank sentral atau pihak manapun yang bertanggung jawab.
Begini yang dikhawatirkan, atas dasar ini OJK melarang semua lembaga jasa keuangan memfasilitasi aset kripto. Ini bertujuan untuk melindungi konsumen atau lembaga keuangan agar tidak mengalami kerugian besar ketika aset kripto kehilangan nilainya. Kehati-hatian OJK terutama di sektor keuangan patut kita apresiasi, agar Ketahanan Perbankan tetap terjaga. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H