Sementara modal pelengkap berasal dari penerbitan obligasi subordinasi dengan jangka waktu minimal tertentu.
Selain itu, dalam upaya mendukung pasar keuangan, bank dituntut untuk bisa menerapkan standar internasional seperti 'capital requirements for bank exposures to central counterparties' dan 'margin requirements for non-centrally cleared derivatives'.
Standar ini bertujuan untuk mengurangi risiko sistemik yang muncul di pasar keuangan. Bank didorong untuk dapat melakukan transaksi melalui lembaga central counterparty.
Ketahanan perbankan
Dunia tampaknya masih akan terus berkencan dengan krisis keuangan dan perbankan. Langkah OJK menerbitkan POJK No.27/2022 ini bak sinyal kewaspadaan.
Industri perbankan seharusnya menyambut baik aturan baru ini. Sebab, selain menjaga kestabilan sistem keuangan, instrumen hukum ini bisa mencegah kebangkrutan bank akibat risiko sistemik.
Apalagi peraturan ini menyoal pengungkapan kondisi bank yang sesungguhnya. Ini soal transparansi, seberapa besar keterbukaan bank dalam mengungkapkan kondisi yang dihadapinya.
Dengan begitu negara pun bisa mengetahui lebih dini jika ada permasalahan keuangan masing-masing bank, dan segera mengatasinya sebelum persoalannya melebar.
Lagi pula perhitungan ATMR dengan standar internasional ini bisa memberikan dampak positif, terutama dalam hal penguatan pencadangan dan permodalan bank. Risiko operasional pun bisa termitigasi lebih optimal.
Meski stabilitas keuangan Indonesia masih cukup baik, tapi ketahanan perbankan tetap harus dicermati dan dijaga. Yang terpenting, pengelolaan risiko harus menjadi budaya di lingkungan perbankan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H