Di penghujung tahun 2022 ini, dunia tengah dilanda ancaman resesi perekonomian global. Bank Sentral Amerika atau The Fed kembali menaikkan suku bunga sampai 50 basis poin. Kenaikan menjadi 4.5%, merupakan angka tertinggi dalam 15 tahun terakhir ini.
Inflasi! Ya apalagi alasannya, Jerome Powell menaikan suku bunga dipastikan untuk membendung laju kenaikan harga yang terus meninggi. Inflasi dunia sendiri bisa memuncak juga akibat dari ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina.
Bukan suatu hal yang aneh sebab perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina membuat harga pangan hingga energi melambung tinggi. Kondisi tersebut menciptakan disrupsi pasokan secara global saat tingginya permintaan. Hal inilah yang membuat pemulihan ekonomi dunia mengalami hambatan.
Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya. Kenaikan suku bunga dan inflasi yang kian memuncak memiliki dampak tersendiri. Berdasarkan penjelasan Bank Indonesia (BI), tingkat inflasi global kemungkinan besar akan mencapai 9,2% di tahun 2022 ini. Kondisi tersebut memicu banyak bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan dengan tujuan meredam kenaikan inflasi.
Adanya kenaikan suku bunga bisa memicu kenaikan produk ataupun barang lainnya. Hal ini lumrah karena berupaya untuk mengendalikan cepatnya laju kenaikan harga. Dengan begitu, sektor keuangan dan perekonomian berimbang.
Selain berdampak pada kenaikan harga produk, kenaikan ini memicu tingginya biaya pinjaman. Kenaikan biaya hipotek imbas dari keinginan pihak perbankan untuk memperlambat dampak buruk di sektor perekonomian. Pergerakan bank mendapatkan pengawasan secara ketat. Pasalnya, Amerika Serikat mendongkrak pergeseran global sehingga biaya pinjaman lebih tinggi.
Dampak ini dirasakan oleh banyak negara di dunia. Bahkan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab termasuk negara yang sudah menaikkan biaya pinjaman. Dengan adanya kenaikan biaya pinjaman, diharapkan bisa memulihkan aktivitas ekonomi maupun tekanan yang memicu kenaikan harga.
Semakin mengkhawatirkan, masalah ini juga mengurangi profitabilitas. Mau tak mau bisnis yang dijalankan juga kesulitan dalam mendapatkan keuntungan. Apabila tak lihai dan kekurangan strategi, bisa membuat bisnis gulung tikar.
Kondisi Perekonomian di Indonesia
Resesi perekonomian global tentunya terdampak bagi Indonesia. Akan tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, kondisi perekonomian di Indonesia terbilang masih cukup baik-baik saja. Meski begitu, tetap saja harus waspada dan berhati-hati agar tidak terlena sehingga membuat perekonomian memburuk.
Bukan tanpa alasan Jokowi mengatakan kata hati-hati dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia pada akhir November lalu. Adapun salah satu alasannya yaitu karena Indonesia akan terdampak gejolak ekonomi secara global. Apabila hal tersebut tak dipersiapkan dari sekarang, maka akan kesulitan dalam menjaga ketahanan ekonomi nasional tahun depan.
Untuk menstabilkan kondisi perekonomian, Indonesia senantiasa melakukan berbagai hal. Adapun salah satunya yaitu menyesuaikan harga BBM. Dengan langkah tersebut, pertumbuhan perekonomian Indonesia bisa mencapai lebih dari 5%.
Menguntungkannya lagi, pertumbuhan ekonomi tersebut tak diikuti peningkatan inflasi yang mengkhawatirkan. Bahkan tingkat inflasi cenderung menurun seiring berjalannya waktu. Kondisi perekonomian Indonesia harus selalu dijaga dan ditingkatkan demi kemajuan bangsa.
Lebih dari itu, sektor perekonomian yang baik juga mampu menjaga ketahanan perbankan. Hal ini pun tak hanya menjadi tugas pemerintah saja, melainkan juga membutuhkan dukungan dari semua pihak. Sudah seharusnya kita mendukung segala upaya pemerintah yang bertujuan untuk menstabilkan perekonomian negara.
Imbas Terhadap Ketahanan Perbankan
Sebagaimana yang sudah kita singgung di atas, kenaikan suku bunga The Fed dan inflasi yang kian memuncak berimbas pada ketahanan perbankan adalah sebuah keniscayaan. Kenaikan suku bunga bisa menyusutkan likuiditas global. Kondisi tersebut membuat laju pemulihan menjadi terkendala.
Berbicara mengenai ketahanan perbankan, tentu terasa kurang lengkap jika tak mengetahui dampaknya terhadap Rupiah. Ketahanan perbankan sedikit terguncang karena adanya kenaikan suku bunga The Fed dan inflasi. Khususnya terkait nilai tukar Rupiah karena mengalami dampak yang luar biasa.
Kondisi nilai tukar Rupiah memburuk bisa diketahui dari depresiasi yang terbilang cukup signifikan. Nilai tukar Rupiah melemah karena kenaikan suku bunga The Fed memicu permintaan Dolar AS terus meningkat. Hal ini hanya akan menguatkan mata uang Negara Adidaya semata.
Pelemahan nilai tukar Rupiah semakin terlihat ketika pasar keuangan domestik kehilangan aliran modal asing. Adapun alasannya tak lain karena investor memilih instrumen keuangan yang ada di negara yang lebih aman. Hal ini membuat investor cenderung menarik diri dari negara yang berisiko.
Ketahanan perbankan juga bisa runtuh karena kenaikan suku bunga The Fed dan inflasi bisa membuat beban utang pemerintah Indonesia mengalami peningkatan. Khususnya utang dalam wujud dolar AS yang menguat nilainya.
Mengetahui hal tersebut, pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Salah satu upaya yang bisa dilakukan yaitu menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia. Hal ini bisa menjaga ketahanan perbankan sekaligus mengembalikan dana asing atau modal yang keluar dari Indonesia.
Kenaikan suku bunga The Fed dan inflasi berdampak secara global. Dampaknya pun bisa dirasakan terhadap ketahanan perbankan sehingga harus dihadapi dengan bijak supaya efek buruknya tidak semakin meluas. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H