Mohon tunggu...
Yusbhi Sayputra
Yusbhi Sayputra Mohon Tunggu... wiraswasta, pengajar -

Creative Thinker

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Penampilan Luar "Gue Beda" dengan Kayu Putih Aroma

21 November 2017   02:21 Diperbarui: 21 November 2017   05:53 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Percaya atau tidak, penampilan luar kita menentukan sikap dan perhatian orang lain terhadap kita. Ketika seseorang mengenakan "pakaian" berlabel mewah, orang lain akan menaruh perhatian setinggi langit. Sebaliknya, ketika kita mengenakan "pakaian" yang ala kadarnya, orang lain justru bersikap tak acuh atau bahkan tidak melirik sama sekali.

Hal itu sepertinya menjadi kebiasaan tak tertulis di masyarakat zaman sekarang. Seperti sudah menjadi rahasia umum. Makanya, sebagian besar dari kita seolah-olah sedang berlomba-lomba mengenakan "pakaian" terbaik yang kita punya untuk ditunjukkan kepada orang lain. Tujuannya; mendapat respek yang baik dari orang lain.

Contoh yang mudah sekali ditemui adalah kebiasaan kita di media sosial. Tengoklah foto-foto atau video unggahan di Instagram, Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya. Em... baik. Aku tidak akan banyak berbicara perkara kebiasaan kita mengunggah sesuatu di media sosial. Karena, aku menaksir kalian tentu sudah tahu apa yang aku maksud. Seperti yang temanku katakan, "Jangan menilai seseorang dari media sosial. Karena, media sosial itu penuh dengan kepalsuan."

Aku punya pengalaman menarik tentang sikap harga-menghargai yang dilakukan seseorang kepada kita. Ya, tentu dari sisi penampilan luar.

Sebelumnya aku ingin bercerita singkat perihal pekerjaanku. Sebagai informasi, aku adalah seorang guru Bahasa Jepang di sebuah SMK swasta di kota Cirebon.  Bangun subuh pulang sore adalah rutinitas sehari-hari yang aku lakukan dari senin hingga jumat. Meski sekolah tempatku mengajar merupakan sekolah swasta, tapi sekolah tersebut memiliki peraturan tegas yang harus aku taati. Salah satunya adalah mengenai pakaian seragam guru.

Setiap senin dan selasa, kami, para guru, diwajibkan mengenakan setelan CV layaknya pakaian dinas PNS. Setiap rabu, kami harus mengenakan pakaian putih-hitam. Dan setiap kamis-jumat adalah waktunya kami mengenakan pakaian batik.

Em.. di mana menariknya? Begini. Hari senin dan selasa bisa dibilang hari yang paling beruntung buatku dalam seminggu. Kalau aku bepergian ke mana-mana setelah sekolah bubaran, terasa sangat nyaman. Misalnya, ketika aku sedang mengantre di pom bensin yang ramai oleh antrean pemotor, beberapa kali aku ditawari oleh pegawai pom bensin untuk menerobos antrean hingga paling depan. 

Atau ketika aku baru saja berbelanja di minimarket dan hendak pulang, seorang tukang parkir buru-buru membantu mengeluarkan sepeda motorku dengan gerakan kilat (padahal sebagian besar tukang parkir hanya peduli dengan rupiah yang mereka terima dari pemotor tanpa mau repot-repot membantu mengeluarkan sepeda motor saat parkiran sedang penuh-penuhnya). Atau ketika aku ingin makan siang di sebuah warung nasi, si penjual nasi hampir pasti akan melayaniku terlebih dahulu ketimbang orang lain, padahal saat itu aku baru saja menginjakkan kaki di warung tersebut sedangkan orang lain sudah lebih dulu berada di sana.

Awalnya, aku tidak terlalu memedulikan perlakuan istimewa yang aku peroleh dari orang-orang tersebut. Namun, jika dipikir baik-baik, sepertinya aku tahu kenapa bisa mendapat perlakuan istimewa dari orang-orang. Adalah pakaian CV bak pakaian dinas PNS yang aku kenakan. Ya, stigma yang berkembang di masyarakat adalah PNS masih dipandang sebagai orang-orang pilihan yang harus dihormati betul-betul. Entahlah benar atau tidak, yang jelas, ketika aku sedang mengenakan pakaian CV bak pakaian dinas PNS, aku mendapat begitu banyak kemudahan dalam bermasyarakat. Hal-hal yang aku tampilkan di atas, adalah contoh sebagian kecil yang pernah aku peroleh selama mengenakan pakaian tersebut.

Namun, berbeda ketika aku sedang mengenakan pakaian biasa. Memang dasar aku tidak terlalu suka berdandan rapi ketika sedang bepergian. Di umurku yang sudah menginjak 28 tahun, aku masih nyaman berpakaian seadanya. Kumpul bersama teman, pergi bersama pasangan, ke malluntuk nonton bioskop, atau pergi ke manapun aku tak pernah ribet dalam urusan berpakaian. 

Ya, kecuali ketika aku sedang mendatangi acara-acara resmi semisal resepsi pernikahan, seminar, atau semacamnya, aku pasti menyesuaikan pakaian yang akan aku kenakan. Tapi, jika tidak ada acara resmi yang aku datangi, aku cukup nyaman dengan hanya mengenakan sandal jepit, kaus oblong, jeanspendek, dan jaket. Cukup simpel untuk ukuran laki-laki yang sebentar lagi menginjak 30 tahun, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun