Mohon tunggu...
Abi Priambudi
Abi Priambudi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi

Kader Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Semarang Pegiat Alam Baik, Jujur, dan Sabar Hidup Tentang Belajar dan Berproses

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Representasi Instrumen Perasaan dalam Kehidupan

31 Mei 2020   16:00 Diperbarui: 31 Mei 2020   16:04 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka tidak heran manusia sangat menikmati fantasi masa lalunya. Peran perasaan mempengaruhi kehidupan manusia. Baik masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.  

Instrumen perasaan cukup sensitif di dalam kehidupan nyata. Seringkali kita membawa instrumen ini dalam menghadapi situasi atau persoalan dinamika kehidupan. Kehidupan sosial yang manusia perankan tak luput dari kontribusi emosi dan mood. Perasaan menyajikan kondisi jiwa agar membuat hidup lebih berwarna.

Kata seorang sastrawan, Manusia hidup di dunia sastra, menjalankan lakonnya pada panggung sandiwara. Panjang dan pelik perjalanan hidup berjalan beriringan dengan suatu yang dirasakan manusia (mood), dengan dianugerahkan panca indra manusia dapat merasakan segala hal dalam hidup. 

Seyogyanya dengan anugerah yang telah diberikan individu bisa mengambil pesan berharga dari sifat perasaan. Seperti bisa menjaga perasaan atau hati orang lain, dengan tidak menyakiti atau menyinggung orang tersebut.

Perasaan berlebih yang muncul harus bisa dikontrol agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Bijak dalam menjaga hati dan mengontrol penggunaan panca indra bertujuan agar individu dapat hidup harmonis dengan individu ataupun kelompok masyarakat lainnya. Kerukunan akan tercapai bilamana manusia bisa saling menjaga perasaan, dengan begitu akan meminimalisir perselisihan dan konflik.

Ada stigma yang berlaku di masyarakat, tentang anggapan negatif dari mengandalkan perasaan berlebih. Instrumen perasaan yang tak terkendali biasanya di anggap buruk bagi kepribadian. Karakter yang muncul pun tidak mencerminkan individu yang baik. 

Stigma tersebut bisa berupa temperamen (mudah marah), cemburu, iri atau dengki terhadap orang yang dianggap memiliki kelebihan, egosektoral, mudah tersinggung, hingga mudah menangis (cengeng). Seseorang yang memperlakukan dan diperlakukan seperti hal diatas sering mendapat pandangan buruk di masyarakat.

Konstruksi pola perilaku yang baik harus menghindari sifat buruk perasaan seperti diatas. Apalagi jika perasaan mempengaruhi tindakan dan perbuatan seseorang menjadi negatif atau buruk. Hal-hal tersebut merupakan semacam tatanan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat setempat. 

Para dewasa melatih dan mendidik anak-anaknya sebagai generasi penerus untuk mencegah perasaan berlebih dalam menjalani kehidupan sosialnya. Kepribadian yang dianggap buruk tersebut biasanya dijadikan contoh sebagai pedoman agar tidak ditiru oleh anak-anaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun