Menyebabkan munculnya sebuah karakter yang bisa dikatakan labil dan tentu di harapkan berubah, dan memang benar kita tampaknya melihat perubahan itu dengan bagaimana bayangan masa depan alif yang tampil dipenghujung film, namun pertumbuhan karakter tidak dapat dirasa akibat penggunaan formula cerita tersebut membuat pertumbuhan Alif sejatinya sudah selesai sejak babak pertama dan hanya kembali diulang saja kisah pertumbuhannya dengan beragam scenario di babak-babak selanjutnya tanpa ada penambahan hal yang benar-benar baru.Â
Hingga lucunya Rusdi sendiri seakan menerus terangkan tentang karakter Alif yang memang tidak belajar apa-apa selama ini di adegan mereka berdua bertengkar saat kelulusan.
Tidak hanya itu cerita yang dibawakan benar-benar terasa dramatis sampai bisa mudah ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Banyaknya plot yang terlihat janggal seakan harus ada demi dramatisasi atau motivasi seperti ketika ayah Alif meninggal tepat ketika Alif tiba atau si pemilik peternakan yang mendapat telepon dirinya sedang dalam susah ketika alif ingin minta resign sungguh terasa tidaklah natural dan seperti harus ada untuk berperan sebagai penggerak karakter Alif di babak tersebut agar formula cerita dapat berjalan, menjadikannya tidak jauh beda dari cerita sinetron di televisi.
Phassing dalam film ini sebenarnya tidak lah buruk hanya saja bagian awal terasa sangat diburu-buru. Bagian awal lebih terasa sebagai kompilasi dari beberapa episode sinetron/series tv.Â
Cepat dan informatif, namun sebagai narasi tidaklah terasa bagus untuk benar-benar membuat penonton dapat merasakan dan meresapi kondisi Alif jikalah memang dulunya penonton tidak memiliki hidup yang kurang lebih sama seperti kisah Alif.
Namun dari segala sisi kurang mengenakkan itu ada hal yang bisa dikatakan bagus yaitu bagaimana mereka menggunakan dan mengembangkan karakter-karakter pendukung dalam film tersebut.Â
Contoh ini bisa terlihat jelas mengenai karakter Raisa itu sendiri, meskipun berperan sebagai love interest dan bukan karakter utama, namun dialah yang memiliki pembangunan karakter paling stabil dari awal hingga akhir film.Â
Mulai dari masa ia sekolah hingga perubahannya menjadi lebih islami akibat peristiwa yang memberkas bagi karakternya di Jordan, terlihat dramatis namun pertumbuhannya natural sepanjang film dan tidak terikat dengan formula yang ada.
Potensi cerita yang ditampilkan dalam film ini sesungguhnya sangatlah besar sama seperti film pertamanya, namun akibat centralisasi karakter dan penggunaan formula yang ada membuat film terasa usang dan hadir hanya untuk benar-benar menekankan seruan utama dalam film, Man jadda wajada, Man Shabara Dzhafira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H