Mohon tunggu...
Abioyiq
Abioyiq Mohon Tunggu... Administrasi - Pegendara Masa

Menulis menyalurkan redundansi agar tak menjadi keruntuhan diri

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Berkendara Masa

6 Juni 2020   23:39 Diperbarui: 6 Juni 2020   23:36 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah kemana sorot lampu ini mengarah, garis putih terputus inilah saja panduku. Menyusuri liku pikir yang tak berujung. Menerka marka jalan yang di sembunyikan senja. Sepertinya hanya temaram yang mampu mengerti betapa ingin ku menepi dari desakan jiwa.

Sesekali tengadahku menstimulus sungging senyum. Purnama tak seperti adanya, ia merekah putih lembut. Mendarat di korena mata dengan sinar yang menghibur. Seakan mencoba mengelus hati yang meredup dan mulai kehabisan energi. Bermalam-malam melerai pertengkaran batin. Di antara cinta dan etika.

Seorang bijak berucap. Menyerah pada keinginan-keinginan jiwa merupakan awal dari banyak masalah kaum sapiens. Tetapi mereka lupa, perangkat utuh manusia justru hadir dalam format sedemikian rumit untuk mengatasi pertengkaran dalam diri secara paripurna. Bukan tentang hadirnya lecutan rasa, tapi mengenai cara meresponnya.

Oleh karenanya bercakaplah dengan pemilik waktu. Jika Ia tengah berbaik hati, mungkin engkau akan berkendara masa untuk pelan-pelan memilah semuanya. Kepercayaan, kekeluargaan, pertemanan, kondusifitas lingkungan bekerja dan kebaikan yang tak sempat terbayang di garis start kehidupan.

Seorang dengan pesona pernah berpesan. Untuk menjadi waras, sisipkanlah kegilaan pada lakumu sejenak. Biarkan ia meledak dengan deras lalu mereda. Lalu aku mencobanya, ya benar. Ia meledak, tapi sialnya tak kunjung mereda. Apakah ini pembangkangan terhadap titah alam.

Sorot lampu, jangan pergi dahulu. Temani aku sekejap lagi. Biarkan lelahku menjadi lelah dan berhenti mengeluh tentang lelahnya. Seraya menyambut bulir-bulir hangat yang jatuh memeluk tubuh. Membesarkan jalur sekresi demi mencipta jalan bagi meredanya ledakan tadi malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun