Karl Marx di dalam pendahuluan Kritik terhadap Filsafat Hak Hegel, berkata "Kritik telah merenggut bunga-bunga ilusioner dari rantai, bukan supaya manusia akan terus mengenakan rantai yang tak terhias dan suram itu, melainkan agar dia melepaskan rantai itu dan memetik bunga yang nyata". Karya Marx tersebut sudah berumur kurang lebih 150 tahun, namun sepertinya masih sangat relevan hingga saat ini.Â
Sejak pilkada DKI Jakarta yang begitu brutal telah selesai dan menghasilkan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru, gelombang politik di Indonesia seolah tidak pernah surut. Saling melempar propaganda tidak pernah berhenti di tengah masyarakat yang kini telah terpecah belah antara kubu oposisi dan pro pemerintah. Penyebaran informasi yang begitu cepat dengan bantuan media sosial yang kadangkala menjadi target 'boikot' dilakukan dengan begitu masif.Â
Namun, hal yang cukup menarik untuk dintinjau lebih jauh dalam gejolak politik di Indonesia adalah bangkitnya kelompok-kelompok 'kanan' pasca pilkada DKI Jakarta. Agama sebagai alat propaganda kelompok 'kanan' yang dinilai cukup efektif untuk digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan politis, saat ini menjadi senjata pamungkas kelompok tersebut.
Kelompok-kelompok ini memunculkan isu-isu klasik seperti isu komunis dan syiah sebagai anti-tesis dari Islam di Indonesia, sebuah jalan untuk membangkitkan trauma masa lalu dan sekaligus mengukuhkan propaganda orde baru akan 'bahaya laten komunis' yang sebelumnya sudah jarang terdengar di telinga. Hal ini kemudian memunculkan reaksi keras dari para pengikut dan simpatisan kelompok kanan tersebut.Â
Para pengikut di dunia maya yang kemudian menamakan dirinya MCA (Muslim Cyber Army) kemudian seringkali menjadikan isu-isu komunis dan syiah ini sebagai materi pembuatan berita-berita hoax yang sangat provokatif terhadap pemerintah dan kelompok pro pemerintah.
Uniknya argumen para petinggi kelompok 'kanan' tentang isu kebangkitan komunis di Indonesia tersebut cenderung tidak berdasar dan terkesan berimajinasi. Salah satu yang paling aktual adalah ceramah Zulkifli Muhammad Ali, yang mengatakan bahwa pada tahun 2018 di Jakarta akan terjadi Chaosdan perang besar-besaran akibat dari Revolusi Cina, Revolusi Komunis, dan Revolusi Syiah.Â
Hal ini kemudian mengakibatkan yang bersangkutan harus berurusan dengan pihak berwajib. Bukan kali ini saja Zulkifli Muhammad Ali mengeluarkan ceramah-ceramah yang penuh ilusi dan bermuatan provokatif, dalam beberapa ceramahnya pada saat pilkada DKI Jakarta sedang bergulir juga seringkali terdapat muatan politis. Dalam salah satu ceramahnya bahkan ada yang terang-terangan menuding bahwa jika Basuki Tjahja Purnama atau Ahok kembali terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta maka pintu-pintu komunis di Indonesia akan terbuka.Â
Argumen-argumen tersebut tentu saja berasal dari sebuah kesesatan berpikir dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan data yang valid, dengan kata lain hanya merupakan asumsi semata.
Selain Zulkifli Muhammad Ali, petinggi kelompok lainnya yang beberapa kali melontarkan tuduhan komunis terhadap pemerintah adalah Rizieq Shihab. Dalam sebuah ceramahnya, yang bersangkutan mengungkapkan bahwa Presiden Republik Indonesia Joko Widodo merupakan pion komunis di Indonesia. Bahkan seorang penceramah bernama Alfian Tanjung pernah menuding bahwa istana kepresidenan dijadikan sebagai tempat pertemuan anggota-anggota PKI.Â
Masih banyak lagi untuk disebutkan namanya, penceramah-penceramah dari kelompok tersebut yang sering menuding pemerintahan saat ini adalah pemerintahan komunis. Hal ini menjadi sangat mengkhawatirkan dimana penceramah-penceramah ini seolah memanfaatkan ketokohannya sebagai seseorang yang dipandang 'suci' untuk melakukan doktrinisasi terhadap umat yang begitu naif dan langsung percaya saja tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap materi-materi ceramah yang disampaikan.
Melalui jalan provokasi berkedok dakwah inilah para kelompok kanan tersebut menciptakan 'bunga-bunga ilusioner' yang diberi nama 'awas kebangkitan komunis!', 'waspada syiah!'. Melalui jalur tersebut, politik dijadikan jalan menuju surga dan berita hoax sebagai kendaraannya. Menjadi sangat ironis dimana umat Islam di Indonesia yang sedang antusiasnya memperdalam ilmu agama, justru dihadapkan pada penceramah-penceramah yang menanamkan misi politik di dalam dakwahnya sehingga fatwa yang keluar bukan lagi soal akhlak dan akidah melainkan berisi kampanye paslon tertentu yang berasal dari kelompoknya. Â