Sobat Kompasiana yang selalu semangat ! seperti judul tulisan pertama " Aku Korban Bully sejak kecil sampai SMP", penulis ingin sedikit mengungkapkan pengalaman karena dibully, akhirnya berbuat hal yang tidak benar karena emosi yang tidak terbendung. Sebelum nantinya, penulis akan menulis setelah memasuki SMA, tidak ada bully an lagi.
Usia saat di bangku SMP Kelas 1
Ada satu pengalaman yang menjadi penulis kalap karena dibully terus-terusan oleh temannnya. Ini nyata terjadi saat penulis berusia 14 tahun. Sebetulnya ada dua kejadian yang dialami, namun kejadian kedua yang terparah.
Apa yang melatar belakangi sampai penulis kalap terkait pembully an yang dilakukan teman-teman ? Ternyata saat itu penulis sedang mempelajari ilmu putih atau ada yang menyebutnya karomah. Yang dipelajari saat itu adalah tiupan, apabila ada yang marah dari lawan kita, saat ditiup maka ia akan terpental.
Jiwa muda, gairah muda dan darah muda mungkin juga yang melatar belakangi. Baru dapat bekal seperti itu, ingin mencoba dan menjadi merasa berani dengan orang yang suka membully. Berikut dua kejadian yang penulis alami.
1.Memukul perut pembully
Seperti biasa, saat bertemu anak tersebut, ia membully dan memberi komando kepada teman lain. Entah kenapa, penulis berpikir untuk menghentikan dan berpikir, sampai kapan saya harus dibully terus ?, Akhirnya, pada saat satu shaf dengan anak yang membully penulis. Saat imam takbirotul Ihram dan mengangkat tangan untuk takbir, penulis sebelum mengangkat tangan, spontanitas memukul perut si pembully dengan keras, lalu langsung dilanjutkan dengan takbir.
Sepulangnya sholat maghrib, penulis dihadang dan sempat terjadi cekcok, meskipun penulis bergetar dan deg-degan penuh rasa takut dan cemas. Sudah hampir terjadi baku hantam, namun dilerai oleh jamaah lain yang pulang.
2. memukul wajah pembully
Kali ini, penulis kembali lagi ingin membuktikan bahwa bully an terhadap dirinya harus dihentikan dan tidak ingin dianggap lemah. Kejadian sama saat penulis menuju ke mushola untuk sholat, namun kali ini Shalat Isya. Dari dua hari sebelumnya, anak tersebut selalu mengejek dan membuat jengkel penulis.
Kejadian berawal saat penulis menjalankan shalat sunnah qobliyah Isya, pembully berada di depan penulis dan menarik-narik sajadah serta mengganggu shalat. Seusai shalat sunnah, kebetulan anak pembully itu ada di depan mushola, langsung saja penulis memukul wajahnya sekali. Sekaligus ingin mempraktekkan ilmu tiupan, kalau marah bisa dicoba tidak ?
Lagi-lagi langsung dilerai oleh jamaah lain dan bersamaan dengn iqomat, sehingga langsung melaksanakan sholat Isya. Penulis berpikir hanya ingin menghajarnya sebagai peringatan saja agar dia tidak membully lagi.
Hari berikutnya seperti tidak ada apa-apa, penulis pun sudah menganggap urusan sudah selesai dan berharap yang telah dipukul wajahnya oleh penulis itu sudah tidak apa-apa. Namun, di sore hari saat penulis duduk-duduk di depan rumah, tiba-tiba terdengar dari kejauhan suara ibu-ibu teriak, mana Lukman...mana Lukman...dia telah memukuli anak saya...saya tidak terima !!! . Ternyata, ibu dari anak yang membully penulis dan sudah dipukul 1 hari yang lalu menyatroni rumah penulis.
Kedua orang tua anak tersebut, malamnya datang lagi ke rumah penulis dan meminta pertanggung jawaban. Posisi penulis saat itu bersembunyi di WC atau kamar mandi dengan ketakutan yang sangat. Sejak itulah, rute perjalanan penulis menuju tempat pengajian diubah memutar dua kali lebih jauh. Karena ketakutan, kalau harus melewati rumah saudara anak yang dipukul oleh penulis.Â
Sejak saat itu juga, gaya jalannya penulis pun sangat cepat yang akhirnya berimbas sampai dewasa. Alasan cepat, setelah beberapa bulan penulis memberanikan diri kembali melewati rute yang dulu. Meskipun harus berjalan cepat untuk menghindari saudara dari pembully yang sudah dipukul itu di luar rumah dan mengancam, karena sebelumnya pernah mengancam saat bertemu dengan penulis setelah kejadian itu
Lalu, apakah berdampak dengan pribadi penulis setelah kejadian itu ? Ikuti kisah nyata selanjutnya di Kompasiana