Ini kisah jaman saya masih kuliah dulu, antara tahun 94-95, ketika harga bensin masin Rp.700 perak per liter. Di Fatimah hanya saya yang bawa motor. Motornya RX King. Jaman dulu motor ini keren banget. Larinya kenceng dan paling disukai oleh para preman, copet, jambret dan bandit. Karena itu RX King punya julukan motor jambret.
Ceritanya waktu itu akhir bulan. Biasa, kalau akhir bulan persediaan uang sudah menipis dan saatnya pulang kampung untuk minta uang 'sangu' ke Bapak. Uangku tinggal Rp. 2000an. Hanya cukup untuk beli bensin 3 literan. Padahal untuk sampai di rumah, Magelang, butuh bensin 4 liter. Nggak cukup.
"Kamu mau pulang ya, Is?" tanya temenku Agung Sundowo. Sama-sama penghuni Fatimah. Namanya Sundowo, karena Agung adalah anak blasteran Sunda dan Jawa. Mestinya namanya SUNDAWA, kenapa jadi SUNDOWO? Mungkin karena pengaruh logat jawa. Huruf A dibaca O.Â
"Iya nih, Gung. Uangku sudah habis." jawabku penuh kejujuran.
"Aku boleh ikut tidak? Aku pingin main ke rumahmu di Magelang."
"Boleh. Ayo main ke rumah. Kalau mau besok siang kita berangkat." ajakku.
"Lewat Banjarnegara tidak? Aku pingin nengok adikku di sana."
"Boleh saja. Besok kita lewat Bajar."
"Tapi ngomong2 kamu punya uang tidak, Gung?"
"Kenapa?"
"Uangku tinggal dua ribu. Nggak cukup buat beli bensin."
"Ada sih, tapi nggak banyak juga."
"Oke deh kalau begitu. Besok kita berangkat."
Esok hari kita sudah siap2 berangkat. Setelah pamitan dengan para sesepuh kami di Fatimah; Mas Imung, Mas Ikhsan, Mas Yono dan teman-teman yang lain, kami berangkat.
"Bismillah"
Agung membonceng di belakangku dengan tenang. Di jalan saya mampir ke pom bensin dulu. Seluruh uang di sakuku saya belikan bensin semua. Dompet yang sudah langsing jadi semakin kempes. Harapanku hanya tinggal sisa uang sakunya Agung.
Darah muda. Aku mengendari motor dengan kencang. Aku bisa tarik gas penuh. Jalan antara Prembun sampai Bajar lurus banget. Gass pooollll. Jalanan masih sepi. Aku lihat speedometer jarum sampai menunjuk angka 125-135. Aku merasa jadi Michael Doohan. Goncangannya sangat keras. Kaca helmku sampai bergetar. RK King memang raja jalanan.
Agung mendekapku kencang. Mungkin dia ketakutan sambil nahan napas dan berdoa.
Sampai di Bajarnegara kami berhenti di masjid agung yang ada di depan alun-alun untuk sholat dhuhur. Selesai sholat kami siap-siap melanjutkan perjalanan lagi. Ketika mau berangkat, Agung seperti kebingungan. Dia raba-raba seluruh sakunya.
"Ada apa, Gung?" tanyaku penasaran.
"Dompetku tidak ada, Is."
"Jatuh kali waktu wudhu tadi."
"Nggak ada, sudah aku cari2."
"Coba cari sekali lagi. Aku bantuin nyari."
Kami mencari dompet itu ke sana ke mari. Hasilnya nihil.
Hanya uang di dompet itu yang menjadi harapanku untuk bisa sampai rumah.
"Bagaimana nih, Is?"
Nasip..... nasip.... jengkel bercampur marah. Rasanya pingin aku pukuli maling dompet itu. Tega-teganya nyuri dompet mahasiswa miskin seperti kami.
"Kita coba pinjam ke adikku saja, Is. Mungmin dia punya uang." Agung menawarkan ide.
Singkat cerita, kami mampir di rumah bibinya Agung. Adiknya tinggal di sini. Kami disambut dan dijamu di rumah bibinya Agung.
"Dik, kamu punya uang tidak? Aa pinjam dulu. Dompet aa hilang tadi di masjid."
"Aku nggak punya uang, A!"
Agung pingin pinjam ke bibinya, tapi tidak berani bilang.
Kalau tidak beli bensin lagi, kami tidak akan bisa sampai Magelang. Baru setengah perjalanan. Mau balik ke Purwokerto bensinya juga tidak cukup. Kami berunding cukup lama untuk mencari jalan keluar. Hasilnya nihil.
Akhirnya kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Meskipun kami tidak yakin dan belum tahu bagaimana caranya agar bisa sampai ke Magelang.
Rupanya bibinya Agung sudah menyiapkan oleh-oleh. Banjarnegara adalah kota salak. Bibinya Agung punya kebun salak. Kami diberi oleh-oleh buah salak sekantong penuh. Kantong bekas beras. Kami menyebutnya kandi. Alhamdulillah.
Kami meneruskan perjalanan menuju Wonosobo. Jarum bensin sudah hampir mepet ke bawah. Habis. Kami tidak bawa uang. 'Harta' yang kami punya hanya buah salak itu. Tapi buah salak di kota ini harganya murah banget.
"Bagaimana nih, Gung, Bensin habis."
"Kita jual saja salak ini. Uangnya bisa buat beli bensin."
" Tapi di sini salak murah. Uangnya nggk cukup."
"Atau kita tukerin aja salak ini dengan bensin. Mungkin ada yang mau."
"Kita coba saja."
Sambil jalan pelan-pelan kami mencari penjual bensin eceran. Kami ketemu penjual bensin. Dengan malu-malu kita mau menukarkan salak dengan bensin. Penjualnya tidak mau.
Kecewa dan sedih bercampur jadi satu. Kami terus berjalan. Setelah melewati jembatan yang berkelok, ada penjual bensin lagi. Penjualnya ibu-ibu. Kami memberanikan diri untuk menukarkan buah salak dengan bensin.
"Nyuwun sewu, Bu. Bensinne kulo telas."
"Pinten liter nak?"
"Anu Bu. Nyuwun sewu, nangging kulo mboten gadah yotro."
"Lho njur pripun mbayare?"
"Anu Bu. Dompette kulo kecopetan wonten Banjar wau. Pas sholat wonten engkan mendet dompette kulo."
"Pripun nggih..??"
"Anu, Bu. Menawi angsal, bensine kulo kintun kaliyan salak. Wonten sekandi niki."
"Lha arep milih ngendi sampeyan niki?"
"Megelang, Bu."
"Tasih tebih ngoten?"
"Lah nggih, Bu. Bensine kulo telas."
"Perlune pirang liter?"
"Kalih liter, Bu"
"Yo wis kene tak isine."
"Matur sembah nuwun sanget, Bu."
Mungkin karena kasihan, ibu penjual bensin itu memberi kami bensin dua liter yang dibayar dengan buah salak satu kandi.
Setelah mengucapakan terima kasih berkali-kali kepada 'malaikat penolong" kami, kami melanjutkan perjalanan ke Magelang. Jaraknya masih 80 km lagi. Lewat Temanggung, Secang baru sampai Magelang.
Alhamdulillah. Kami selamat sampai rumah. Kami tidak akan pernah lupa pengalaman ini. Semoga Allah membalas kebaikan ibu penjual bensin eceran itu.
******
Ternyata dompet Agung tidak dicuri orang. Tapi jatuh di daerah Purbalingga. Ada orang yang menemukan dan mengirimkan balik ke Agung dengan utuh. Alhamdulillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H