Dalam waktu tidak lama lagi ilmuwan dunia akan bisa menyulap kayu jadi 'bensin', yaitu bioetanol. Beberapa tahun terakhir banyak dilakukan penelitian intensif di hampir seluruh dunia untuk membuat bioetanol dari bahan-bahan berkayu. Teknologi ini dikembangkan untuk menjawab tantangan global: pemanasan global dan menipisnya cadangan minyak bumi.
Bioetanol dan Isu Pemanasan Global
Isu pemanasan global dan menipisnya cadangan minyak bumi menjadi isu global beberapa tahun terakhir. Dampak pemanasan global sudah mulai kita rasakan sekarang. Mulai dari musim yang sulit diprediksi, bencana di mana-mana, hingga naiknya permukaan laut. Kalau ini tidak dihentikan, dunia sedang menuju kehancurannya.
Para ilmuwan di dunia menyebutkan salah satu sebab pemanasan global adalah pemakaian bahan bakar minyak yang menyebabkan polusi udara dan bolongnya lapisan ozon. Bahan bakar yang sering dipakai untuk kendaraan di seluruh penjuru dunia adalah bensin dan solar. Asap yang keluar dari knalpot dari pembakaran BBM ini sumber polusi udara yang besar.
Para ilmuwan mencari bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan dapat diperbaharui, yang sering disebut dengan biofuel. Banyak macam dan jenis biofuel yang dikembangkan, salah satu yang gencar diteliti adalah bioetanol. Bioetanol memiliki karakteristik yang mirip dengan bensin dan lebih ramah lingkungan. Pembakaran sempurna bioetanol akan menghasilkan gas CO2 dan air (H2O). Berbeda dengan bensin yang mengandung logam berat (Pb) dan gas CO.
Bioetanol bisa digunakan langsung untuk bahan bakare kendaraan atau dicampurkan dengan bensin. Bahan bakar campuran bensin-etanol disebut gasohol E10 atau E20 dengan campuran etanol 10-20%. Gasohol bisa langsung dipakai ke mesin bensin tanpa harus merubah mesinnya. Penambahan bioetanol bisa meningkatkan nilai oktan bensin. Inilah beberapa keunggulan bioetanol untuk bahan bakar.
Bioetanol Generasi Kedua
Teknologi pembuatan etanol sudah lama berkembang. Orang-orang babilionia jaman dulu sudah bisa membuat etanol dari nira dan bahan-bahan yang mengandung gula. Orang-orang arab mengembangkan teknologi distilasi untuk memurnikan etanol. Teknologi ini kemudian menyebar dan dikembangkan di banyak tempat. Proses pembuatan bioetanol melalui proses fermentasi dengan menggunakan ragi. Gula difermentasi menjadi etanol.
Dengan berkembangnya proses sakarifikasi bahan-bahan berpati menggunakan enzim, bahan baku pembuatan etanol juga berkembang dari gula ke pati. Pati adalah polimer gula atau sakarida. Jika pati dipecah-pecah akan menghasilkan gula yang bisa difermentasi menjadi etanol. Bahan-bahan berpati yang paling banyak dimanfaatkan untuk bahan baku etanol adalah tepung tapioka, tepung jagung, dan bit gula.
Bioetanol berbahan baku gula dan pati disebut bioetanol generasi pertama. Mayoritas bioetanol dunia dibuat dari bahan ini, termasuk bioetanol dari singkong yang banyak berkembang di Indonesia. Namun, dalam jangka panjang bioetanol generasi pertama menghadapi pilihan sulit, karena berkompetisi dengan pangan dan pakan. Gula dan pati adalah bahan pangan dan pakan. Pemakaian gula dan pati akan mengurangi suplai pangan dan pakan. Mau pilih perut kita atau 'perut'nya mobil..???
Para ilmuwan di dunia sudah memikirkan hal ini dan mencari alternatif pengganti gula dan pati. Pilihan jatuh pada bahan-bahan berkayu atau bahan lignoselulosa. Bahan berkayu dipilih karena bahan ini murah, tersedia melimpah ruah, dan tidak berkompetisi dengan pangan dan pakan. Bahan berkayu terdiri dari tiga komponen pokok: selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa adalah polimer gula. Pemecahan kedua bahan ini akan menghasilkan gula dan bisa difermentasi menjadi etanol. Bioetanol yang berbahan baku kayu disebut dengan bioetanol generasi kedua dan saat ini sedang gencar dikembangkan oleh ilmuwan di seluruh dunia.
Proses Pembuatan Bioetanol dari Kayu
Meskipun secara teori memungkinkan, tetapi dalam praktenya membuat bioetanol dari kayu tidaklah mudah. Komponen lignin melindungi holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa). Pelindung ini sangat kuat, sehingga holoselulosa sangat sulit dipecah (dihidrolisis) menjadi gula. Inilah tantangan terbesar yang sedang coba dipecahkan saat ini.
Proses merubah kayu menjadi bioetanol melalui beberapa tahapan, yaitu: pretreatment, hidrolisis, fermentasi, distilasi, dan dehidrasi. Pretreatment adalah perlakuan awal terhadap bahan berkayu. Pretreatment ini bertujuan untuk memecah pelindung lignin sehingga kayu menjadi lebih mudah dipecah/dihidrolisis menjadi gula. Langkah berikutnya adalah hidrolisis atau pemecahan holoselulosa menjadi gula. Hidrolisis menggunakan enzim selulase, enzim yang bisa memecah selulosa menjadi glukosa (gula).
Tahap fermentasi akan merubah gula dengan bantuan ragi menjadi bioetanol. Bioetanol hasil fermentasi masih berupa campuran air dan etanol, karena itu etanol dipisahkan dari air dengan proses distilasi. Proses distilasi bisa meningkatkan kandungan bioetanol hingga kadar 95%. Masih ada sisa air 5%. Air ini harus dihilangkan karena bisa merusak mesin. Langkah berikutnya adalah dehidrasi atau proses penghilangan air. Setelah proses dehidrasi bisa diperoleh etanol absolut (kadarnya mendekati 100%), inilah yang disebut bioetanol untuk bahan bakar atau Fuel Grade Ethanol (FGE).
Tahap fermentasi, distilasi, dan dehidrasi sudah sangat maju teknologinya. Dua tahapan pertama, yaitu pretreatment dan hidrolisis masih dalam tahap pengembangan. Berbagai macam teknik sudah dicoba dan mencari proses yang paling ekonomis, murah, dan ramah lingkungan. Proses hidrolisis sebenarnya sudah lama dikembangkan. Ilmuwan sudah bisa menghasilkan enzim selulosa. Tantangannya saat ini adalah menyediakan selulosa dalam jumlah besar dengan kualitas tinggi dan ekonomis.
Tantangan dan Peluang Bangsa Indonesia
Indonesia memiliki peluang besar mengembangkan teknologi bioetanol generasi kedua. Beberapa tahun terakhir ada program pengembangan biofuel. Seperti program jarak pagar dan bioetanol. Sayangnya program itu seperti hilang terbawa angin. Lebih disayangkan lagi, program bioetanol yang dikembangkan justru dari singkong, bioetanol generasi pertama. Pengalaman di dunia, bioetanol generasi pertama sulit berkembang karena berkompetisi dengan pangan dan pakan. Indonesia mengulang kesalahan ini, beberapa program bioetanol dari singkong sepertinya tidak terdengar lagi. Permintaan singkong untuk bioetanol kalah dengan permintaan untuk tepung tapioka dan tepung mocca. Pengembangan bioetanol dari singkong tertinggal satu langkah daripada bioetanol generasi kedua.
Indonesia adalah negera tropis yang kaya akan bahan berkayu atau biomassa lignoselulosa. Biomassa lignoselulosa tersedia melimpah, terutama dari limbah agroindustri, industri perkebunan, dan kehutanan. Misalnya saja, limbah dari pabrik kelapa sawit, yaitu tandan kosong kelapa sawit. Volumenya sangat besar, bisa mencapai 1,9 juta ton per tahun. Tankos ini bisa untuk menghasilkan bioetanol sebanyak 2,22 milyar liter bioetanol. Belum lagi biomassa yang lain, seperti jerami, sisa gergaji, dan lain-lain.
Teknologi bioetanol generasi kedua sedang dalam proses pengembangan. Ilmuwan di seluruh dunia sedang berlomba-lomba mengembangkan teknologi ini. Indonesia memiliki sumber daya biomassa yang besar dan SDM banyak. Potensi ini bisa diarahkan untuk merakit teknologi bioetanol masa depan. Jika berhasil tidak mustahil bioetanol bisa menjadi produsen bioetanol dunia, seperti Brazil saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H