Mohon tunggu...
Isroi Isroi
Isroi Isroi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berbagi Tak Pernah Rugi

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menyulap Kayu Jadi 'BENSIN'

29 Juli 2010   07:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:30 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tahap fermentasi akan merubah gula dengan bantuan ragi menjadi bioetanol. Bioetanol hasil fermentasi masih berupa campuran air dan etanol, karena itu etanol dipisahkan dari air dengan proses distilasi. Proses distilasi bisa meningkatkan kandungan bioetanol hingga kadar 95%. Masih ada sisa air 5%. Air ini harus dihilangkan karena bisa merusak mesin. Langkah berikutnya adalah dehidrasi atau proses penghilangan air. Setelah proses dehidrasi bisa diperoleh etanol absolut (kadarnya mendekati 100%), inilah yang disebut bioetanol untuk bahan bakar atau Fuel Grade Ethanol (FGE).

Tahap fermentasi, distilasi, dan dehidrasi sudah sangat maju teknologinya. Dua tahapan pertama, yaitu pretreatment dan hidrolisis masih dalam tahap pengembangan. Berbagai macam teknik sudah dicoba dan mencari proses yang paling ekonomis, murah, dan ramah lingkungan. Proses hidrolisis sebenarnya sudah lama dikembangkan. Ilmuwan sudah bisa menghasilkan enzim selulosa. Tantangannya saat ini adalah menyediakan selulosa dalam jumlah besar dengan kualitas tinggi dan ekonomis.

Tantangan dan Peluang Bangsa Indonesia


Indonesia memiliki peluang besar mengembangkan teknologi bioetanol generasi kedua. Beberapa tahun terakhir ada program pengembangan biofuel. Seperti program jarak pagar dan bioetanol. Sayangnya program itu seperti hilang terbawa angin. Lebih disayangkan lagi, program bioetanol yang dikembangkan justru dari singkong, bioetanol generasi pertama. Pengalaman di dunia, bioetanol generasi pertama sulit berkembang karena berkompetisi dengan pangan dan pakan. Indonesia mengulang kesalahan ini, beberapa program bioetanol dari singkong sepertinya tidak terdengar lagi. Permintaan singkong untuk bioetanol kalah dengan permintaan untuk tepung tapioka dan tepung mocca. Pengembangan bioetanol dari singkong tertinggal satu langkah daripada bioetanol generasi kedua.

Indonesia adalah negera tropis yang kaya akan bahan berkayu atau biomassa lignoselulosa. Biomassa lignoselulosa tersedia melimpah, terutama dari limbah agroindustri, industri perkebunan, dan kehutanan. Misalnya saja, limbah dari pabrik kelapa sawit, yaitu tandan kosong kelapa sawit. Volumenya sangat besar, bisa mencapai 1,9 juta ton per tahun. Tankos ini bisa untuk menghasilkan bioetanol sebanyak 2,22 milyar liter bioetanol. Belum lagi biomassa yang lain, seperti jerami, sisa gergaji, dan lain-lain.

Teknologi bioetanol generasi kedua sedang dalam proses pengembangan. Ilmuwan di seluruh dunia sedang berlomba-lomba mengembangkan teknologi ini. Indonesia memiliki sumber daya biomassa yang besar dan SDM banyak. Potensi ini bisa diarahkan untuk merakit teknologi bioetanol masa depan. Jika berhasil tidak mustahil bioetanol bisa menjadi produsen bioetanol dunia, seperti Brazil saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun