Diantara sedikit artefak dan batu bersurat yang ditemukan di kawasan lereng Gunung Merbabu, ternyata Batu Damalung cukup menarik perhatian Hendrik Jacobus Domis. Adapun "Batu Damalung" yang dimaksud, lebih dikenal sebagai "Prasasti Ngadoman". Baris awal prasasti ini memang menyebut kata "damalung" (ong sri sarasoti ká¹›ta wukir adi damalung 'Oṃ Saraswati Yang Mulia mencipta gunung utama Damalung'). Sedangkan "Damalung" sendiri merupakan nama kuno untuk Gunung Merbabu. Â
Ketika menemukannya sekitar tahun 1824, Domis masih berkedudukan sebagai Residen Semarang. Ia menempati posisi itu antara tahun 1822 hingga 1825. Domis berinisiatif memindahkan Batu Damalung itu dari tempat asalnya di dusun Adoman (sekarang Ngaduman, masuk Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah). Batu itu kemudian diangkut menuju kediaman Domis di Salatiga. Batu itu pun ditempatkan di pekarangan (tuin) rumahnya.Â
Menurut Domis, batu itu harus segera dipindahkan ke tempat yang lebih aman agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut. Apalagi batu itu tidak mendapat perlakuan istimewa dari masyarakat setempat, seperti memberi sesaji atau melakukan ritual-ritual penghormatan lainnya. Domis berniat menyerahkannya ke pihak (Bataviaasch) Genootschap. Ia berharap penemuan batu itu akan memberi kontribusi baru bagi pengetahuan akan sejarah Jawa klasik.Â
Rangkaian aksara yang terpahat pada permukaan batu itu masih sangat jelas. Domis meminta bantuan Ngabehi Ranadipura, seorang demang di Salatiga, untuk membaca tulisan yang tersurat. Ranadipura menyebut jenis aksaranya sebagai "Sandi Buda", suatu sebutan umum dari masyarakat lokal waktu itu untuk sistem aksara yang digunakan sebelum aksara Jawa modern. Sayangnya, upaya Ranadipura hanya berhenti hingga tahap alih aksara. Ranadipura mengaku bahwa ia tidak dapat memahami bahasanya.Â
Domis memutuskan untuk meminta bantuan Panembahan Sumenep, Madura. Sang Panembahan dikenal sebagai orang yang memiliki kecakapan dalam memahami bahasa Kawi. Melalui bantuan seorang regent di wilayah Semarang, upaya Domis ternyata membuahkan hasil. Panembahan Sumenep membuat terjemahan teks Batu Damalung dalam bahasa Melayu. Terjemahan itu lantas diterbitkan dalam seri Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Risalah Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia), volume 10, tahun 1825 (halaman 107-130), sebagai suplemen artikel Domis yang berjudul "Salatiga, Merbaboe, en de Zeven Tempels" (Salatiga, Merbabu, dan Tujuh Candi). Domis menambahkan pula terjemahan bahasa Belanda sebagai pendamping teks terjemahan Melayu dalam terbitan yang sama. Residen Semarang itu terlihat begitu antusias menyikapi temuan istimewa ini.Â
Berikut ini adalah hasil terjemahan Panembahan Sumenep.Â
"Inie pengngajaran kaloe sapa njang maoe dapet tempat besar njang tentoe dengen slamet, maoeanja moestie pake apa njang jadie kabaekan dengen betool teroos terang dalem atie-nja, dengen njang kras pegang iegama, biear djangan dapet ingettan njang djadie boesook, soepaija di blakang-kalie biear dapet njang terlebieg kabesaran, di atas itoe dapet djalannan ingettan, telaloe terang separtie Mentarie en Boelan. Semoea orang moestie taoe orang njang dapet kabesaran itoe, orang njang toeroot parintahnja Batara, tandanja njang menoejoeken siapa njang tieda toeroet itoe parinta, dapet bagiean hoekoeman naraka.Â
Apa bekas pakirdjan njang soeda di djalanie, itoe mendjadie pembelienja pakerdjan baroe, lagie siapa njang kasie nama boesook sama orang, tentoe dapet kendirie, darietoe jangan loepa poedjinja soepaija djangan sampe melangar, apa njang djadie larangan, soengoe soengoe, inie pengngadjaran njang betool, siapa njang biesa djalannie, segala sing maliat sama diea telaloe tjienta dingen hormatnja.Â
Diatas moedjie tiedag ada lebieg darie toedjoe Boekoe, baiknja, soengoe itoe njang Taon temponja die kerdja 427."Â
Agar lebih mudah dipahami, maka teks Melayu di atas perlu diubah mengikuti ejaan yang dikenal sekarang. Hasilnya adalah sebagai berikut.Â
"Ini pengajaran kalau siapa yang mau dapat tempat besar yang tentu dengan selamat, maunya musti pakai apa yang jadi kebaikan dengan betul terus terang dalam hatinya, dengan yang keras pegang agama, biar jangan dapat ingatan yang jadi busuk, supaya di belakang kali biar dapat yang terlebih kebesaran, di atas itu dapat jalanan ingatan, terlalu terang seperti Mentari dan Bulan. Semua orang musti tahu orang yang dapat kebesaran itu, orang yang turut perintahnya batara, tandanya yang menujukan siapa yang tiada turut itu perintah, dapat bagian hukuman neraka.Â
Apa bekas pekerjaan yang sudah dijalani, itu menjadi pembelinya pekerjaan baru, lagi siapa yang kasih nama busuk sama orang, tentu dapatkan diri, dari itu jangan lupa pujinya supaya jangan sampai melanggar, apa yang jadi larangan, sungguh-sungguh, ini pengajaran yang betul, siapa yang bisa jalani, segala sing melihat sama dia terlalu cinta dengan hormatnya.Â
Di atas muji tidak ada lebih dari tujuh Buku, baiknya, sungguh itu yang Tahun temponya dikerja 427."
Melalui terjemahan Melayu tersebut, kita dapat menangkap kesan bahwa apa yang tersurat di permukaan Batu Damalung adalah ajaran terkait moral. Kebaikan dan keburukan menjadi isu penting yang dibahas dalam teks inskripsi itu. Walaupun demikian, di masa kemudian, muncul ketidakpuasan terhadap hasil "kerja kroyokan" Domis dan para koleganya itu.Â
Terbitan Domis beserta para koleganya itu mendapat sanggahan berarti dari Abraham Benjamin Cohen Stuart lima dekade kemudian. Sanggahan itu terbit di jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indi (Kontribusi bagi Ilmu Bahasa, Geografi, dan Etnologi Hindia-Belanda), volume 19, nomor 3, tahun 1873 (halaman 275-284), melalui sebuah artikel berjudul "Inscriptie op een' Steen in 's Rijks Museum van Oudheden te Leiden" (Inskripsi pada sebuah batu di Museum Purbakala Kerajaan di Leiden).Â
Bacaan Cohen Stuart atas "Batu Damalung" atau "Prasasti Ngadoman" itu jauh lebih diterima daripada pendahulunya, bahkan hingga sekarang. Lagipula terbitan Domis tidak menyertakan hasil alih aksara yang dibuat oleh Ngabehi Ranadipura. Masalah itulah yang menjadi salah satu titik keberatan Cohen Stuart (selain-tentu saja-pembacaan Domis yang keliru atas angka tahun Batu Damalung). Kiranya memang penerjemahan yang bias diawali dari tahap alih aksara (transliterasi) yang tidak akurat. Terhitung sejak artikel Cohen Stuart tentang Batu Damalung itu terbit, hasil pembacaan Domis dan para koleganya nyaris dilupakan.Â
Selain menampilkan terjemahan Melayu dan Belanda, terbitan Domis dalam Verhandelingen sebenarnya juga menyertakan sketsa "Batu Damalung". Terlihat dari tanda tangan yang disematkan pada sudut kanan bawah (I-Bik-Sot), gambar itu diperkirakan dibuat oleh Adrianus Johannes Bik, juru gambar yang beberapa tahun kemudian membuat sketsa sosok Pangeran Diponegoro yang terkenal itu (Gambar 1). Waktu itu, Bik termasuk dalam jajaran anggota Bataviaasch Genootschap. Walaupun hanya berkedudukan sebagai anggota biasa, namun Bik memeroleh tempat utama (hoofdplaats) lantaran jabatannya sebagai Asisten Residen. Daftar keanggotaan itu juga tidak menyebutkan Bik bertugas di karesidenan mana. Sangat mungkin, Bik adalah asisten Domis. Wilayah kerjanya saat itu adalah Karesidenan Semarang.Â
Berdasarkan keterangan yang tersurat di bawah gambar, posisi Batu Damalung saat itu sudah berada di Salatiga, tepatnya di pekarangan rumah Domis. Jadi, Batu Damalung telah berada di lokasi keduanya setelah sebelumnya diangkut dari desa Ngadoman. Batu itu diletakkan dengan posisi berdiri. Sejumlah batu berukuran lebih kecil (kemungkinan ada empat namun yang terlihat hanya tiga) ditempatkan di sudut bawah prasasti sebagai penyangga.Â
Selain itu, Bik sebisa mungkin meniru bentuk rangkaian aksara yang tersurat pada permukaan Batu Damalung. Sketsa Bik tampaknya dimaksudkan sebagai faksimile atas inskripsi Batu Damalung. Itulah hal teknis mendasar yang lazim dilakukan waktu itu sebelum teknologi pembuatan abklatsch dan reproduksi fotografi diperkenalkan di Hinda-Belanda beberapa dekade kemudian. Kiranya, itulah juga alasan mengapa terbitan Domis tidak menyertakan alih aksara. Sketsa Bik sudah cukup mewakili objek yang sedang dibahas.Â
Sebagai catatan penutup, ketika Cohen Stuart membaca kembali inskripsi Batu Damalung, batu ini sudah berada di Leiden, Negeri Belanda. Entah sejak kapan batu itu berada di kota itu. Setidaknya pemindahan itu terjadi dalam rentang antara 1825 hingga 1873. Mungkin ada sumber lain yang memberikan informasi terkait proses pemindahan dari Salatiga ke Leiden. Foto Oudheidkunduge Dienst (Dinas Purbakala Hindia-Belanda) nomor OD-10019 Â tahun 1929 masih menampilkan Batu Damalung di ruang pamer museum (Gambar 2), akan tetapi kabar terakhir dari Dr. Tjahjono Prasodjo (2021), epigraf dari Universitas Gadjah Mada, menyebutkan bahwa Batu Damalung tidak lagi dipajang, melainkan "diistirahatkan" di salah satu rak ruang penyimpanan atau gudang (storage) koleksi Museum Volkenkunde, Leiden.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H