Mohon tunggu...
Abimanyu Septiadji Sungsang
Abimanyu Septiadji Sungsang Mohon Tunggu... Lainnya - Staf Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

suka air putih es

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mencium Aroma Pasal Karet di Bawah Kuasa Tangan Besi Menteri Komunikasi dan Informatika

27 Juli 2022   20:01 Diperbarui: 28 Juli 2022   09:22 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gelombang kebebasan berekspresi di Indonesia selalu mengalami posisi penuh dengan ketidakpastian. Seringkali kita temukan ekspresi seseorang ditafsirkan sebagai sebuah perbuatan melawan hukum seperti pencemaran nama baik, atau menyerang kehormatan seseorang. 

Fenomena ini memang bukan barang baru, namun sampai saat ini pemerintah belum terlihat untuk serius evaluasi menyeluruh dan struktural agar dapat menekan korban-korban kriminalisasi sebab aktivitas ekspresinya.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, aktivitas ekspresi di ruang digital dinilai lebih masif apabila dibandingkan dengan ekspresi publik yang sifatnya offline. UU ITE - yang tentu saja problematik dibentuk sebab populasi warga online yang terus meningkat, serta sebagai sebuah upaya untuk menangkal berbagai tindakan kejahatan di ruang digital. 

Namun, kehadiran UU ITE nampaknya tidak mampu memenuhi tiga tujuan mendasar pembentukan perundang-undangan, yaitu untuk memperoleh kepastian, kemanfaatan, dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Akhirnya, tuntutan revisi UU ITE dari berbagai kalangan masyarakat sipil terus berdengung karena tidak sedikit pasal dalam UU tersebut bersifat multitafsir dan berimbas pada penyempitan ruang ekspresi, dan tentu saja mengancam eksistensi demokrasi.

Belum selesai dengan diskursus dan polemik keberadaan UU ITE yang terus menerus mengalami pro kontra di tengah-tengah masyarakat yang berdampak pada pengikisan ruang bebas berekspresi, kini Kemenkominfo mencoba belajar menjadi penguasa yang represif. 

Tidak beda jauh dengan UU ITE, dengan keluarnya peraturan baru Permenkominfo tentang penyelenggara sistem elektronik lingkup privat (PSE) hanya akan memperkeruh situasi jaminan kebebasan berekspresi. 

Ironisnya, Ditjen APTIKA melalui siaran persnya terlihat mencoba mensimplifikasi isi Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020. Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa Permenkominfo ini ditujukan untuk melindungi masyarakat dari berbagai praktik ancaman di dunia digital. Rupanya, lenturnya isi pasal-pasal  di dalamnya adalah ancaman bagi keberlangsungan hak asasi manusia.

Lagu lama kaset kusut

Secara garis besar, permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 Tentang PSE ini mengatur ihwal pendaftaran, tata kelola, moderasi informasi atau dokumen elektronik, hingga permohonan pemutusan akses atas informasi atau dokumen yang dilarang. 

Jika mencermati isi pasal per pasal Permenkominfo tersebut, beberapa esensi pasal terasa sangat begitu elastis. Salah satu contohnya , Pasal 9 Ayat (4) memuat kalimat multitafsir "......Informasi elektronik dan/atau dokumen yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan klasifikasi: b. Meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum......". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun