Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Derita Aneh di Pulau Seram

10 Januari 2020   18:06 Diperbarui: 10 Januari 2020   19:04 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa peristiwa aneh yang terjadi di Pulau Seram sangatlah mengagetkan pikiran publik. Sebuah Pulau terbesar di Provinsi Maluku ini patut dicurigai bahwa eksistensinya telah mencapai titik berbahaya. 

Masyarakatnya mulai tumbuh diatas berbagai represif penderitaan. Salah satunya ialah wabah kekurang gizi dan krisis air.

Masa iya, pulau penghasil bermacam rempah-rempah, masyarakatnya bisa terserang penyakit gizi buruk. Paling seng masuk akal sudah e. Selain itu, tingkat penyebaran penderitaan semakin melanda beberapa Kabupaten di Kepulauan ini.

Beberapa bulan kemarin, saya hendak mendapatkan informasi dari salah satu teman di Kabupaten Seram Bagian Timur ( SBT). Teman saya itu namanya Rudi. Saya dan Rudi sama-sama menempuh pendidikan tinggi di Tangeran Selatan, tepatnya di Ciputat.

Saat usai dari kampus ( lulus ) ia memilih mengabdi di daerah. Namun belum terealisasi karena masih mengorganisir para petani. Sementara saya stay-stay aja di Ibu Kota. Sebab, saya telah bertemu kekasih hidup disini. Rudi dan saya tidak pernah memutus rantai komunikasi. Bila terputus, itu karena tidak ada sinyal di kampungnya.

Kami semasa kuliah tidak pernah luput dari monitorin perkembangan-perkembangan yang ada dikampung. Hingga kami pernah membuat satu wadah namanya,"Forum Bacarita Kampoeng". Forum ini lahir untuk mendeskripsikan keluh kesah masyarakat dikampung dari berbagai kebijakan yang keliru dalam memahami pikiran masyarakat kampung.

Bakabong ( berkebung ), budaya piknik, perawatan bahasa tanah, dan menjaga ruang hidup adalah isu yang kerap kali kita diskusikan, entah di siang hari maupun malam hari.

Kembali lagi, informasi yang di sampaikan Rudi kepada saya terkait desanya yang krisis air membuat narasi saya terbangun untuk merenungi. Kok bisa, pulau seperti Seram itu terkena krisis air," tanya saya.

Bahkan, pernah saya ke Desa Mosso di Seram Selatan. Sepanjang jalan yang saya lewati, jelas sungai-sungai besar memiliki jiwa yang aktif. Drastis airnya mengalir dari gunung hingga ke pantai.

Informasi krisis air dilengkapi dengan beberapa dokumentasi berupa foto dan video. Benar, mereka sedang mengalami krisis air. Tuangala, su model apa ini," gumam saya.

Hal lain adalah, narasi gizi buruk yang melanda masyarakat Suku Mausu Ane di pedalaman Pulau Seram. Akibat dari itu, anak-anak dan bayi yang menjadi korban. 

Sekali lagi, untuk menyangkal hal demikian akan terjadi sangatlah sulit bagi saya. Sebab, ramuan obat-obatan tradisional bertumbuh liar di sekelilingi rumah warga. Simpelnya, bahan pangan tidaklah susah. Tapi kok, bisa ya terkena gizi buruk!

Pulau Seram yang dulu beda dengan yang sekarang. Ini bisa diukur dari tinggkat kemampuan masyarakat disana dalam menjaga tradisi ekologis. Nah, tradisi ini yang telah dirusaki oleh kekuatan perusahan atas ijin pemerintah. Walaupun perspektif yang dibangun sangat supra natural, namun ada kebenarannya dalam pandangan filsafat alam.

Kepercayaan masyarakat adat bila telah menyatu dengan alam, jangan sampai dipisahkan akibat perampasan ruang hidup oleh keserakahan penguasa. Imbasnya adalah anak-anak sekitar kita bisa terkena tumbal.

Banyak saya temukan di Maluku, cerita demikian begitu masif mendarat di lubang telinga. Bahwa, bukan saja manusia yang dapat bergerak. Alam juga memiliki jiwa yang bisa merusak dan menggerakan. Itu akan terjadi bila ia merasa diganggu.

Sehingga menjadi bahan instropeksi buat setiap individu-individu yang menetap di Pulau Seram agar lebih hati-hati dan bijak dalam mengelola alam sebagaimana mestinya.

Kasus gizi buruk mohon maaf, bukan saya mau ungkit kembali walaupun telah tertangani pemerintah setempat. Miris dan aneh saja menyaksikannya. Apalagi telah memakan korban jiwa.

Penekanan juga, kepada Pemerintah Daerah dan Provinsi jangan sampai mengeluarkan ijin-ijin pembabatan hutan dengan seenaknya tanpa meminta ijin kepada penghuni alam. "Kitorang di Maluku masih meyakini kalau alam yang memberi hidop bukan perusahan yang abis gale langsung pergi tanpa pamit".

Oleh sebabnya patut menjadi komitmen bersama, "untuk tetap merawat hutan, sungai, deng laut par katong pung hidop. Ini pesan orang tatua dolo. Sapa bale batu batu gepe dia, sapa rusak gunung, gunung tindis dia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun