Sekali lagi, untuk menyangkal hal demikian akan terjadi sangatlah sulit bagi saya. Sebab, ramuan obat-obatan tradisional bertumbuh liar di sekelilingi rumah warga. Simpelnya, bahan pangan tidaklah susah. Tapi kok, bisa ya terkena gizi buruk!
Pulau Seram yang dulu beda dengan yang sekarang. Ini bisa diukur dari tinggkat kemampuan masyarakat disana dalam menjaga tradisi ekologis. Nah, tradisi ini yang telah dirusaki oleh kekuatan perusahan atas ijin pemerintah. Walaupun perspektif yang dibangun sangat supra natural, namun ada kebenarannya dalam pandangan filsafat alam.
Kepercayaan masyarakat adat bila telah menyatu dengan alam, jangan sampai dipisahkan akibat perampasan ruang hidup oleh keserakahan penguasa. Imbasnya adalah anak-anak sekitar kita bisa terkena tumbal.
Banyak saya temukan di Maluku, cerita demikian begitu masif mendarat di lubang telinga. Bahwa, bukan saja manusia yang dapat bergerak. Alam juga memiliki jiwa yang bisa merusak dan menggerakan. Itu akan terjadi bila ia merasa diganggu.
Sehingga menjadi bahan instropeksi buat setiap individu-individu yang menetap di Pulau Seram agar lebih hati-hati dan bijak dalam mengelola alam sebagaimana mestinya.
Kasus gizi buruk mohon maaf, bukan saya mau ungkit kembali walaupun telah tertangani pemerintah setempat. Miris dan aneh saja menyaksikannya. Apalagi telah memakan korban jiwa.
Penekanan juga, kepada Pemerintah Daerah dan Provinsi jangan sampai mengeluarkan ijin-ijin pembabatan hutan dengan seenaknya tanpa meminta ijin kepada penghuni alam. "Kitorang di Maluku masih meyakini kalau alam yang memberi hidop bukan perusahan yang abis gale langsung pergi tanpa pamit".
Oleh sebabnya patut menjadi komitmen bersama, "untuk tetap merawat hutan, sungai, deng laut par katong pung hidop. Ini pesan orang tatua dolo. Sapa bale batu batu gepe dia, sapa rusak gunung, gunung tindis dia".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H