Batu karang diujung tangjung bersinar tajam menghasut pintu hati. Saat itu air laut sedang surut. Ramai sekali perempuan dan anak kecil menancapkan kaki di bibir pantai dengan tombak dan besi panjang 1 meter. Berburu untuk keperluan saja. Jangan berlebih, masih banyak orang disekitar kita. Jangan serakah dan egois.
Ah...ini indah sekali. Aku ingin menetap saja di disini. Membakar kasbi dan colo-colo belimbing. Aduhh, ikan bakar enak sekali. Kangen yang berlebihan. Nostalgia kadang-kadang. Tidak perlu memikirkan harga tiket pesawat yang sedang melonjaknya. Pemerintah itu sedang menghantam rakyatnya. Namun masih banyak yang tidak sadar akan kejadian sebenarnya.
Sudahlah, lupakan kebijakan. Disini kita serba ada. Bukan di kota besar yang banyak kaum miskin kota tapi tidak diperhatikan.
Selama tungku masih menyala kita tidak perlu membabat hutang dan menggali gunung. Toh, ada kayu bakar yang bisa diakses di belakang rumah. Tinggal ambil tanpa embel-embel kontrak kerja, kehidupan akan terus berlanjut. Sungguh luar biasa, mestinya pola ini terbungkus dalam sistem kenegaraan kita. Sejak Kapitalisme menyebar tanpa ampun, dogmatisasi merajalela, manusia di kota sudah seperti robot. Super sibuk milik mereka, takan ada yang tertandingi.