Setelah UNESCO menetapkan Ambon sebagai Kota Musik Dunia pada 31 Oktober 2019, disandingkan dengan 65 permukiman kota lainnya yang tergabung dalam Jaringan Kota Kreatif Dunia ( Creatif Cities Network ), berbagai kalangan mulai dari pemerintah hingga kalangan menengah ke bawah seperti mendapatkan angin segar.Â
Yang dicita-citakan akhirnya berhasil menembus batas. Namun dibalik itu semua, kesejatehraan musisi lokal patut dipertanyakan.
Apakah sebagai kota music dunia, musisinya juga ikut mendunia yang tentu didukung oleh kesejahteraan ekonomi, ataukah sebaliknya. Jangan sampai kota music hanya dijadikan slogan, dan musisinya pun jauh dari kata sejahterah. Untuk menvalidkannya, mari kita cek one by one.
Pertama, Maluku atau kota Ambon tidak perlu diragukan lagi musisi yang berasal dari kota ini. Ada yang go-internasional, nasional, dan masih ada yang stay di lokal saja. Untuk di kanca internasional dan nasional kita semua telah ketahui bersama, siapa saja musisi berdarah Maluku.
Sementara, coba bandingkan dengan musisi lokal, apakah mereka mampu mendunia. Atau jika dengan adanya media sosial seperti youtube, apakah mereka akan berdaya saing dengan musisi nasional lainnya. Ataukah berkelas dan berkarakter di kanca lokal saja dan tidak naik-naik tangga, meybe.
Music adalah satu bagian dari perkembangan ekonomi kreatif manusia dan nasional kenegaraan. Tidak hanya untuk melestarikan budaya dan olah syahdu. Namun dengan adanya labelin kota music dunia, semestinya prioritas kesejahteraan musisinya harus di dukung juga. Tentu dengan program edukasi, informasi, ekonomi, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya.
Saya rasa bila ini diagendakan pada program prioritas nasional dan daerah, melalui lembaga-lembaga terkait atau presiden harus turun tangan sekalipun, tentu akan memberikan dampak yang signifikan bagi keberlangsungan para musisinya.
Sejauh ini menurut kaca mata saya, sudah terlalu banyak musisi lokal di kota Ambon yang merilis lagu, berseni, berpuisi, namun mereka tiba-tiba hilang entah kemana (bukan diculik).Â
Kenapa bisa begitu? Simpelnya, music belum mampu memberikan kesenangan dibidang ekonomi. Akhirnya, meninggalkan dan mencari pekerjaan baru adalah prinsip kontradiksi yang ambil dengan terpaksa. Imbasnya, stagnan dimana-mana.
Gelembung sanubari pemangku kewajiban kiranya harus terus mengawal para musisi. Memanjakan mereka dengan program partisipasi sangatlah membantu mewujudkan itu semua. Tidak bermaksud meminta, hanya saja, ini juga merupakan bagian dari distribusi keadilan sosial yang humanis.
Bahwa problem utama bila musisi luar daerah atau nasional yang mampir ke Maluku, mereka dibanjiri manusia, memadati jalan-jalan kota. Sementara musisi lokal..ahh masa bodoh. Citra seperti ini masih serius dipertahangkan hingga kini.
Tapi di balik itu semua, Ambon masih tetap yamg terbaik pada bait-bait suara. Antara tenor, sopran, dan bass masih membunyikan lagu di atas daun sagu dan air laut. Menari dan berdendang merupakan tradisi klasik yang berseri diujung kerikil dan pasir putih. Selebihnya mari bernyanyi untuk damaikan negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H