Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Trip

Melebur di YogYakarta (Part 6)

26 November 2019   09:44 Diperbarui: 26 November 2019   10:42 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Twitter Rachmat Riyanto (@punx_orange) | Gua Pindul Gunungkidul

Bis kami kembali bergerak pada rute berikutnya. Antara ruang dan waktu ikut terlibat guna menjamin eksistensi perjalanan kami. Kali ini, Gua Gunung Pindul adalah jalur terakhir, sebelum menuju pusat ole-ole Jogjakarta.

Melayat dari Resto Gudek Yu Djem Pusat ke Gua Gunung Pindul memakan perjalanan kami hampir dua jam lebih. Kira-kira dari jam 12 tepat bis kami melayat dan tiba di Gua Gunung Pindul pada pukul 2 siang lewat. Menanjak dan menuruni bukit adalah track yang kami tempuh. Setiba di Gua Gunung Pindul, tim Tour kami menuju  tempat pergantian pakaian.

Kami menyarung baju ganti yang telah di sediakan. Kami juga diberikan baju pelampung sebelum turun ke lokasi dan masing-masing dari kami dikenakan bang dalam yang telah disediakan. Saya sebenarnya tidak membawa pakaian ganti, sehingga saya harus membeli celana mandi yang dijual dilokasi pemandian.

Cuaca jam 2 siang sangatlah panas, saya yang tidak memakai sendal merasa tertusuk di kaki saya akibat panasnya mentari yang membakar tanah adam. Rekan-rekan yang lain juga ikut merasakan hal yamg sama. Tapi itu hanya beberapa saat saja.

Gua Pindul sudah di depan mata, kami dapat melihatnya. Banyak para wisatawan Gua Pindul terlihat tengah memandati jalur masuk gua. Mereka telah mengobok-obokan air dan berselfi-selfi. Ada sebagian para wisatawan yang telah diarahkan masuk ke dalam Gua dengan membuat barisan persegi panjang.

Gerombolan kami masih menunggu, untuk menghibur penungguan kami, dokumentasi tim tidak pernah lepas dari kamera cannon. Perjalanan wisata memang tidak boleh luput dari dokumentasi, semuanya saling terkait untuk mengenang keabadian.

Kami lalu diberikan aba-aba untuk berbaris masuk ke air. Bang dalam yang kami bawa, terus di duduki sambil memegan tangan satu dengan tangan yang lain melalui tali biru disamping bang yang telah diikat. Pemandu kami kemudian mengarahkan kami masuk ke gua, ia bukan hanya mengarahkan namun banyak memberikan edukasi sejarah gua gunung pindul dan semua capaiannya.

Sekitar 200 meter kejauhan gua tersebut, kami tidak merasa bosan sebab ada edukasi dan pemandangan bebatuan menarik yang kami peroleh. Kami terhibur dalam jepretan kamera, ada kebersamaan dan kecerdasaan yang kami rasakan. Sungguh keren perjalanan kami ini, kalian harus mencobanya.

Keluar dari gua merupakan kebahagiaan. Kami menyadari hal tersebut dalam benak kami. Tidak lain, air adalah pelampiasan rasa bahagia kami. Berpindah lagi, pemandu susur gua mengajak kami untuk pergi ke sungai dengan menaiki mobil pick up. Ada dua mobil pick up yang yang kami naiki dan mengantarkan kami menuju lokasi kali. Sepanjang jalan pepohonan minyak kayu putih memadati pemandangan. Namun mirisnya, ribuan pohon minyak kayu putih tersebut telah gundulkan pucaknya. Dikatakan setiap kali tumbuh, pasti selalu ditebang sedemikian rupa.

"Sampai deh. Hayoo, semuanya turun. Masing-masing wajib memegan bang dalamnya," instruksi pemandu kami.

Saya memilih lebih awal untuk melihat seterjal apa kali yang akan kami susuri. Hmmm, airnya sangat kotor. Saya sebenarnya tidak ingin mandi ketika melihat air tersebut hanya karena demi kebersamaan tim maka, beranikan diri adalah konsekuensi.

Pemandu susur kali ini adalah seorang perempuan dan dua laki-laki. Ia menyuruh saya untuk lebih dulu agar bisa menikmati air terjun. Saya melakukannya sambil menunggu rombongan lain di air terjun itu. Bang Indra yang ditemani dede Yasmin telah lebih menuju titik akhir dari susur kali.

Saya yang membasahi diri dari serangan air terjun membuat tubuh saya ibarat dipukul oleh ribuan tangan yang terkepal. Tapi entah kenapa saya sangat menikmatinya. Tidak lama kemudian, bang Oki meminta saya untuk mengajak dede Reno ke air terjun. Reno sempat menangis dan ingin menikmati air terjun itu lagi. Saya mengambilnya dan menaruhnya diatas batu. Ia mengalami hal serupa seperti saya tadi, tapi ekspresinya tertawa.

Ok de, uda ya? Kita harus pergi," ucap saya kepadanya.

Saya dan dede Reno meninggalkan air terjun dengan senang sekali.

"Ayo..dayung airnya dede Reno. Kita harus melewati yang lain. Jangan sampai kita kalah".

Semacam ada egoisme untuk merebut kemenangan. Benar, kami melewati mereka dan tiba dilokasi akhir dengan gembira. Tidak pake istrahat, Reno mengajak saya untuk segera naik melewati tangga. Ada 14 tangga yang saya hitung. Ternyata diatasnya sudah ada mobil pick up yang sedang menunggu. Bukan dua pick up lagi tapi hanya satu. Sekitar 20 orang lebih memadati bak mobil itu. Inilah keseruaannya.

Kembali ke lokasi awal di tempat pengembalian bang dalam dan tempat ganti baju. Kami tiba, semuanya memesan makan dan minum karena lapar mencekam perut. Haus pun menikam tenggorokan.

"Semuanya makan dulu, sehabis makan baru kita balik ke pusat ole-oleh," kata mba Diah.

Melanjutkan makan malam di Resto Sate Pak Pong. Sebuah Restoran Sate yang sangat terkenal di Jogjakarta. Kerennya dari Resto Sate Pak Pong adalah, tusuk satenya memakai jari-jari sepeda. Sehingga bisa awet dan mengurangi pencemaran lingkungan. Andaikan setiap warung sate di Indonesia memakai konsep seperti ini pasti kecenderungan membuang sampah dan menebang pohon sangatlah minim. Kami menikmati Sate Pak Pong dengan canda tawa bersuka riah.

Setelah itu menuju pusat ole-ole. Kami mampir di sebuah tokoh batik. Sesuai dengan informasi yang kami dengar di Gua Pindul ketika disampaikan oleh mba Diah.

Variatif sekali baju batik yang tersedia. Ada sarung, celana, busana perempuan, syal dan bereneka pernak-pernik yang bercover batik. Saya sejujurnya adalah orang yang tidak tertarik memaki batik. Dilemari baju saya tak ada satupun batik yang tersimpan. Bukan tidak mencintai produk dalam negeri namun dari kecil saya sudah tidak terbiasa terhadap kemeja atau batik.

Beberapa kali saya sempat mengenakan batik atau kemeja ke acara nikahan atau acara formal yang lain akan tetapi itu semua dalam keterpaksaan. Saya juga harus menghargai hajatan orang. Bila untuk memakai ke kampus, merasa tidak pede terhadap apa yang saya kenakan. Entah apa yang merasuki saya sehingga hal semacam itu sangat saya tidak sukai.

Di tokoh batik, saya hanya melihat saja, habis itu keluar lagi dan memilih merokok di lokasi parkiran. Ini lebih nikmat. Sementara rekan-rekan yang lain terutama yang para emak-emak ramai membeli. Setelah beres dari tokoh batik, kita kembali ke Hotel dan mengistrahatkan badan setelah sehari full bergentayangan di Wisata Desa Seribu Batu , Gudek Yu Djem Pusat, Gua Pindul Jogja, Sate Pak Pong dan terakhir yakni pusat ole-ole batik.

Ok gaes, sekian dululah part 6-nya. Hanya itu yang bisa saya ceritakan. Jangan males ya untuk baca dan memberi komentar. Sebab, saya sangat membutuhkan. So, masih ada part-part berikutnya. Dank!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun